Jelang Dua Tuju

"Tau nekatku mencintaimu."

Lirik yang kuunggah dalam instastory sore ini. Aku pernah nekat meneruskan hubungan dengan kamu (yang tyda mungkin skaliih terjadi). 'Ibunya ngga suka aku.' Gituu aja terus yang terngiang sekarang.

Kalau dulu mah, yakin kita bisa melalui semua perjalanan. Yakin ini adalah fase naik turun kehidupan. Yakin kamu akan bisa menyatukan. 

But here we go again. Lagi-lagi melepaskan.

Padahal kita seyakin itu. Kita bahkan ngga mengira kalau kita ngga akan bersama. Mungkin kita terlalu yakin, ya?


Masih ngga bisa membayangkan aku harus mengenal orang baru lagi. Harus cerita lagi. Harus ngasih tahu aku sukanya apa, mengingat dia sukanya apa. Harus belajar memahami hal-hal apa yang membuat dia trauma dalam hubungan sebelumnya. Keluarganya bagaimana, dia suka nongkrong dimana, dia suka makan apa. Pandangan hidupnya ke depan mau seperti apa. Dua, lima, sepuluh, lima belas tahun lagi dia merancang hidup seperti apa. Dan aku harus mengambil peran sebagai apa untuk menunjang itu. Harus mengingat hal apa aja yang bikin dia marah atau ngga suka. Harus menyesuaikan sikap seperti apa yang harus diambil untuk membuat dia ngga marah lagi. Harus berkompromi. Harus, harus, harus mulai lagi.

Belum lagi ketika kita sudah mulai mengenal, memahami orang baru, ternyata kita ngga merasa cocok dengan orang itu. Atau sebaliknya. Ternyata orang itu ngerasa ngga cocok dengan kita. Lalu kita harus  mengakhiri lagi. Lalu kita harus memulai perjalanan lagi. Memulai lagi dari awal. Mencoba dengan orang baru.

Mau sampai kapan?


Kenapa kita ngga berhenti aja?

Kenapa kita harus berusaha menemukan pasangan, dengan banyak kemungkinan tersakiti?

Iya kalau ketemu. Kalau engga?

Kenapa kita ngga menghitung KPR dengan repayment capacity dari pendapatan sendiri. Kenapa harus nunggu pasangan?

Mungkin rumahnya akan lebih kecil, lebih jauh, tapi lebih pasti. Pasti kamu bisa membeli rumah itu dengan atas namamu sendiri.

Mungkin ini terasa putus asa ya kalau dibaca. Tapi ya mau gimana lagi?  Aku semakin takut bergantung, menunggu, melibatkan orang lain untuk masuk dalam kehidupan. Itu variabel yang terlalu sulit untuk dihitung. Dan hidupku, mau ngga mau, suka ngga suka, harus terus jalan. Aku harus punya capaian-capaian. Time is ticking kalau kata orang-orang mah. Mau nantinya ada orang yang menjalani hidup sama kamu, atau ngga ada pun, rumah harus tetap terbangun. Karena disitu mimpi-mimpimu, ceritamu, capekmu, dan semangatmu bertemu jadi satu. Di rumahmu. Tempat yang jadi saksi perjalananmu. 

Yang menaungi semua wishlist-mu terwujud satu per satu.


Salam sayang dari kamu, di usia jelang dua tujuh.

Jakarta, 4 November 2022

Selamat ulang tahun, Tata.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Perjalanan Jakarta

Jakarta, 01 Oktober 2022


Mengabarkan kepindahanku ke Jakarta, belum ya? Maaf aku lupa.

Sekarang jadi lebih banyak menulis di buku catatan. Tentang aku dan pasanganku, yang sekarang sudah tidak lagi. Jadi mencoba aktif kembali di blog ini, 

"Masih ada ruang? Masih boleh datang?"

Pikirku ketika akan login kembali ke blogger.com, ke https://mylittlenotesofatikahayu.blogspot.com/, sarang sedihku. Huahaha. Hujan di mimpi, Sampai Jadi Debu kali ini jadi dua lagu pengiring yang mengawali menulisku kembali.

Aku pindah ke Jakarta, begitu cepat. Tahu-tahu aku sudah disini. Di kota yang tidak pernah masuk dalam daftar kota favoritku sebelum-sebelumnya. Malang, Jogja, Jember, kota-kota kecil saja yang tenang, maunya. Jakarta juga kota yang sebenarnya aku hindari. Dulu sekali, ketika masih di sekolah dasar, aku pernah sekali berkunjung ke Jakarta. Macet dimana-mana. Liburanku hanya habis di jalanan. Aku pernah dipandang dengan sinis oleh mbak-mbak di pertokoan. Lalu kamera milik bapak dan handycam yang ia pinjam hilang di kereta menuju Jakarta. Itu adalah tiga alasan kuat sejak kecil aku ndak mau tinggal, hidup disini. Tapi kamu ingat kata Al-Quran berbunyi begini "Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui" (Al-Baqarah:216).

2,5 tahun belajar jadi marketing dengan posisi sebagai outsourcing membuat aku harus memutar otak. Tinggiku tidak seberapa. Pernah ditolak mentah-mentah ketika proses rekrutmen pegawai tetap karena tinggiku. "Lumayan jauh yaa tingginya." kata-kata yang keluar begitu saja dari recruiter sejak awal mengukur tinggi. Sedikit, tapi membekasnya dalam sekali di hati. Mungkin nanti kalau tulisan ini dibaca generasi 2050, untuk diketahui, bahkan di 2021 tinggi badan menjadi prasyarat untuk mendaftar pekerjaan. Caramu berpikir, etos bekerjamu yang bagus, kalau tinggimu tidak mencukupi prasyarat, ya seperti angin lalu saja. :)

Berpikirlah aku, berdoa aku ke tuhanku. "Yaa Allah, 2021 ini setidaknya ada 1 hal yang pasti dalam hidupku. Kalau nggak jodoh, ya karir. Aku mau jodoh. Kalau kamu belum kasih aku jodoh, ya karirku harus pasti. Aku butuh kepastian." 

Juli 2021 aku daftar CPNS. Seperti tahun-tahun sebelumnya, aku sudah 3 kali mendaftar, dan seperti tidak mengharap apa-apa lagi. Hanya berusaha menjalani setiap langkahnya. Sambil beberapa kali apply di perusahaan-perusahaan.

Agustus 2021 aku mengikuti Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) bertempat di BKN Waru. 

November 2021 aku lolos dan mengikuti Seleksi Kompetensi Bidang (SKB) bertempat di BKN Waru. Kemudian berlanjut sesi virtual interview melalui Zoom.

Desember 2021 aku lolos. Nomor 16, dari 16 orang. Si paling buncrit.

Akhir Januari 2022 aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan sebelumnya.

Februari-Maret 2022 aku menikmati beberapa bulanku menganggur dengan indah. Aku punya cita-cita mau sekali waktu bisa goler-goler sampai lupa hari, cuma tahu siang atau malam, jalan-jalan kemanapun tanpa ditanya target. Dan dalam dua bulan ini cita-citaku itu terlaksana! Alhamdulillaah! Allah maha baik. Walaupun dalam dua bulan itu juga tabunganku langsung whuzz ilang, habis dibuat jalan dan beli ini itu.

Akhir Maret 2022 aku pindah ke Jakarta.

1 April 2022 aku mulai bekerja! Rasanya senang sekali!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Ah.

Surabaya, 14 Juni 2021

 

Setelah bertahun-tahun dan aku baru sadar, tulisanku disini, muesti pas aku lagi sedih. Sekarang juga gitu. Duh kah. .^.   

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

surat pertamaku


Surabaya, 5 Mei 2020


Bapak,
Ini hari ke sepuluh setelah aku menerima gaji ke sepuluh. Harimu baik? Jadi penopang, ternyata nggak pernah segampang yang aku bayangkan. Sejak awal, sampai sekarang. Mereduksi apa yang aku inginkan, untuk kepentingan beberapa orang lain, yang harus diutamakan, ternyata nggak pernah terasa ringan. Selain aku yang selalu coba ingat, aku juga mau liat fira seneng, bisa beli apa yang dia mau. Lalu aku tiba-tiba aja melupakan mimpi  beli sepatu shoekashoes untuk selebrasi gaji pertamaku.
Tentang gaji pertama, aku masih merasa terkesima sekali. Waktu aku cek rekening, dan ada uang  dua juta rupiah, uang setengah bulan yang aku peroleh dari kerja-belajar pagi sampai jam 4 sore hari disini. Aku kasih itu ke ibu, mbah, fira, dan sedekah. Bapak tahu, jumlahnya nggak banyak memang, tapi aku nggak pernah merasa sejantan ini. Aku merasa jantan karena waktu anak-anak seumuranku dapat gaji dan dipakai untuk beli segala keperluan dan keinginan pribadi, sementara aku nggak sepenuhnya cuma untuk aku. Aku memulai hidup untuk orang lain. Serius, aku nggak pernah ngerasa segagah ini. Terasa seperti aku siap bertarung dengan seisi bumi. Jantan sekali.
Bapak, sepertinya tahun ini aku nggak beli baju baru untuk lebaran. Jangan merasa terbebani karena kamu teralu cepat pergi. Dan aku masih anakmu, yang nggak pernah nggak mau untuk beli ini itu. Tapi waktu menawarkan beberapa pilihan ke fira, dia bilang, tahun ini nggak beli baju baru nggak papa. Baju kita udah banyak. Selegowo itu kami belajar, pak. But once, kalau kamu tiba-tiba hidup lagi, dan lagi-lagi bertanya, mau beli apa? Tenang, ada ribuan list barang di kepala, yang bisa keluar dari mulutku begitu saja. I guarantee, aku masih tetap anakmu yang selalu tahu apa yang aku mau. Kamu pasti senyum sambil angguk-angguk kepala. Rindu rengekanku kalau aku mau sesuatu kan? Aku bisa merasakan itu. Bisa mewujudkan sesuatu yang diinginkan significant others mu, ternyata memang segagah itu.
Bapakku yang hatinya selembut tisu. Aku juga tahu, kalau kamu baca tulisanku ini, kamu pasti nangis. Merasa bersalah sekali karena terlalu cepat pergi, waktu kami belum benar-benar bisa berdiri sendiri. Aku juga tahu, kalau kamu masih dan akan terus selalu merasa kalau kamu akan selalu bisa diandalkan. Dan kamu sedih sekali, karena ternyata, hidup nggak selalu tentang semua yang kita rencanakan. Tapi setidaknya, kita belajar, kan?
Tau nggak? Seenggaknya, di tempatmu ada nisan. Yang setiap kali aku merasa jalanku terlalu berat, aku bisa datang kesana. Dan lagi-lagi, bahkan ketika kamu sudah pergi, aku masih tetap jadi aku yang butuh bersandar setiap merasa keberatan perihal kehidupan. Maaf ya kalau tiap aku kesana, cuma bawa doa seadanya, dan pasti minta barter doa untuk masalah-masalahku supaya ngga berat-berat amat kelarnya. Aku sengaja gitu, supaya kamu selalu tahu, kalau aku, bocah lugu, yang masih dan akan terus bergantung sama kamu. Shall I say ‘I love you’? I love you, dan akan selalu seterusnya begitu.

Dari penulis favoritmu,
Atikah Ayu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Pernah sedih pada masanya


Surabaya, 16 Januari 2019

Resolusi tahun ini, ingin sekali mengawali dengan menghapus memori lama. Ada banyak foto, video, yang memenuhi laptopku. Aku menemukan tulisan super lama, yang sedih pada masanya.

Latar cerita:
             Surabaya, 13 Juni 2016
Hari pertama bulan puasa. Pukul 10.00 aku ada kelas penulisan kreatif. Sebelum itu aku harus mengunjungi rumah dia (yang istimewa pada masanya). Memperjelas kemana arah hubungan kami. Ya, sudah sejak April kami menjalani hubungan yang kurang nyaman.
Pukul 09.00 aku tiba di rumahnya. Dia mempersilahkanku menuju rumah tamu. Dia bercerita tentang kawan-kawannya. Aku mendengarkan, cukup lama. Lalu melihat jam, 09.45 ‘bisa kita langsung ke intinya?’ Dia memutuskan hubungan. Cukup banyak yang dia katakan, alasan kenapa harus memilih ini, harapan apa untuk kami ke depannya, dia menghitung jumlah hari yang sudah kita jalani, juga banyak hal lain. Tapi semua di kepalaku terasa berputar-putar. Aku hanya fokus pada matanya. Setelah dia berhenti, kubilang ‘oke’ Kami bersalaman. Dia berkata, “hati-hati di jalan ya.” Aku pergi.
Kelas penulisan kreatif. Ini mata kuliah favoritku di semester itu. Aku menjalani kelas dengan kondisi abnormal. Hidung memerah, pandangan mata kabur oleh banyak bulir air. "Kenapa?" Aku hanya memeluk Dian, dan menangis dengan sisa air mata seadanya. Tugas hari itu adalah menuliskan puisi, sajak, atau apapun tanpa menggunakan huruf ‘i’. Sebab aku yang sedang bisu waktu itu, mereka (rekan kelompokku) memberi aku banyak ruang untuk menceritakan kejadian dengan tulisan. Beginilah jadinya, hasil akhir dengan revisi diksi dari mereka.

Aku menggumam pada malam yang tak jua berpulang
Ragaku lelah, rasaku hampa
Anganku terbang ke jurang luka,
terlalu kuyu untuk terbangun.
Sesak duka merasuk sukma
Kosong. Hanya aku dan debu sekarang
Beku membayangkan masa lalu
Melebur dengan kenangan dan asa
“Apa salahku?”
“Mengapa ragaku tergerus duka?”
Akankah kutemukan satu  yang layak kusebut dalam doa,
tak jeda kurapalkan saat surya,
juga petang menjelang
Akankah semesta mengungkap semua pertanda,
kemana kamu dan aku bermuara

Dian, Dwinita, Atikah, Angeline
13 Juni 2016

         Tulisan tersakit pada masanya. Kalau dibaca sekarang, “bung, kau lucu juga melasnya.”
Tidak hanya menulis, mereka memberi kesempatan untuk aku membaca di depan kelas. Begitu baiknya. Di depan kelas aku membaca, seisi kelas diam, terbawa. Aku berderai-derai air mata. Terima kasih mbak Kandi (dosenku dengan kemampuan menulis yang maha syahdu) dan tim lama. Mereka mengajarkan melepas beban dengan karya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Jika Diperbolehkan.

Aku ingin bertemu denganmu yang menenangkan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Ya, Tidak

Surabaya, 10 April 2018

Manusia menjadi sulit dengan pikirannya pribadi
Merumit-rumitkan diri dengan sulit yang ia ciptakan sendiri

Aku sering merasa, kenapa kita tidak berubah menjadi lebih ringan saja.
Menjawab ya, jika memang kita rasa iya.
Atau tidak. Jika kita memang tidak lagi berminat.

Bertanya, jika memang ada yang ingin ditanyakan.
Atau berkata, ya sudah ya. Jika tidak ada lagi yang ingin dibicarakan.

Tapi, jangan-jangan,
justru aku yang sebenarnya masih memaksakan apa yang sudah kamu bilang tidak. Kucoba untuk ubah menjadi iya. 

Tapi tidak pernah bisa.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments