Karya Tulis Ilmiah Bab2


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

“Karya sastra adalah karya seni yang menawarkan sejumlah nilai di dalamnya, dan sangat wajar apabila manusia mencari, menggali nilai-nilai itu dari sebuah karya sastra.” (Sumardjo, 1999:34). Dalam sebuah karya sastra terdapat nilai yang berhubungan dengan kehidupan nyata yang dialami oleh manusia. Ada beberapa jenis karya sastra, diantaranya: (1) pantun, (2) syair, (3) gurindam, (4) puisi, (5) cerita pendek, (6) roman, (7) dongeng, (8) legenda, (9) naskah drama, dan (10) novel.
      Novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa  tokoh.” (Kosasih, 2012:60). Novel adalah salah satu jenis karya sastra yang ditulis oleh pengarang yang menceritakan tentang kehidupan tokoh, baik itu hanya satu orang saja maupun lebih. Di dalam novel, pengarang menceritakan kehidupan tokoh dengan berbagai persoalan yang cenderung rumit dan penuh intrik. Terkadang, kisah hidup tokoh sesuai dengan keseharian dan kebudayaan di lingkungan sekitar si pengarang, namun bisa juga merupakan pengalaman dari seseorang, dan bisa juga kisah tersebut merupakan cerita fiksi atau hanya sekedar imajinasi pengarang. Semakin banyaknya novel dengan kisah hidup tokoh yang berbeda, maka semakin luas pula lingkup yang terkandung dalam novel. Hal tersebut bersifat positif, karena membuat novel-novel menjadi penuh warna dan tidak bersifat monoton.
      Dalam sebuah karya sastra terdapat dua unsur penting, yang pertama adalah unsur ekstrinsik dan yang kedua adalah unsur intrinsik. “Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur pembentuk prosa yang berada di luar bangun cerita, tetapi keberadaannya menentukan terciptanya sebuah kisah atau cerita” (Latif, 1994:70). Unsur-unsur tersebut sangat berkaitan dengan kehidupan nyata yang dialami manusia dan menjadi latar belakang dari penulisan novel.
      Apabila unsur ekstrinsik merupakan unsur pembentuk dari luar cerita, maka berbeda halnya dengan unsur intrinsik. “Unsur-unsur intrinsik ialah unsur-unsur yang membangun karya sastra. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika seseorang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud.” (Nurgiyantoro, 2007:23). Sebuah novel tidak akan terasa nyata apabila tidak mengandung unsur-unsur intrinsik. Unsur-unsur intrinsik novel meliputi:
2.1. Sinopsis
      “Sinopsis merupakan ringkasan cerita yang mengutamakan alur atau plot yang tepat dan menarik dari suatu cerpen, novel atau drama” (Rosidi, 2009:52). Sinopsis adalah ringkasan dari sebuah cerita yang disajikan dengan bahasa sendiri tapi tetap memperhatikan kesesuaian urutan jalan cerita dengan jalan cerita yang asli. Membuat sinopsis merupakan suatu cara yang efektif untuk menyajikan karangan (novel) yang panjang dalam bentuk yang singkat.
2.2. Tema
      “Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperanan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya” (Aminuddin, 1984:107-108). Tema adalah gagasan utama dalam sebuah cerita, hal itu menunjukkan bahwa tema bak nyawa dalam sebuah cerita.
      “Tema menyangkut segala persoalan, baik itu berupa masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan, dan sebagainya.” (Kosasih, 2012:60). Tema memiliki ruang lingkup yang luas. Pengarang karya sastra dapat memilih tema apapun, seperti kemanusiaan, kekuasaan, kecemburuan, namun tema tidak hanya berhenti disitu. Tema perlu lebih dispesifikkan. Misalnya saja tema tentang kemanusiaan, tema kemanusiaan masih bersifat umum, dan bisa lebih dispesifikkan menjadi tolong menolong terhadap sesama manusia, atau kesetaraan derajat seluruh umat manusia, dan lain sebagainya. Tema jarang dituliskan secara tersurat oleh pengarangnya.
2.3. Tokoh dan Penokohan
2.3.1. Tokoh
“Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita. tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita.” (Sudjiman, 1988:16). Tanpa adanya tokoh, pesan yang ingin disampaikan oleh penulis dalam sebuah cerita tidak akan tersampaikan, karena tidak ada lakon cerita.
2.3.2. Penokohan
      “Penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Untuk menggambarkan karakter seorang tokoh tersebut, pengarang dapat menggunakan teknik sebagai berikut: (1) Teknik analitik, karakter tokoh diceritakan secara langsung oleh pengarang, (2) Teknik dramatik, karakter tokoh dikemukakan melalui: (a) Penggambaran fisik dan perilaku tokoh. (b) Penggambaran lingkungan kehidupan tokoh, (c) Penggambaran tata kebahasaan tokoh, (d) Pengungkapan jalan pikiran tokoh, (e) Penggambaran oleh tokoh lain” (Kosasih, 2012:68). Setiap tokoh mempunyai watak yang berbeda-beda. Hal tersebut bisa diketahui secara langsung melalui definisi pengarang atau secara tidak langsung yaitu melalui penggambaran fisik dan perilaku tokoh, lingkungan sekitar, tata bahasa tokoh, jalan pikiran tokoh, dan definisi atau pengilustrasian yang dilakukan oleh tokoh lain yang terlibat dalam cerita tersebut.
      “Jika dilihat dari fungsinya, tokoh dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: (1) protagonis, (2) antagonis, dan (3) tritagonis. Tokoh protagonis membawa misi kebenaran dan kebaikan untuk menciptakan situasi kehidupan masyarakat yang damai, aman, dan sejahtera. Namun, cita-cita tokoh protagonis ini tidak selalu mulus karena adanya perlawanan dari tokoh antagonis” (Hariyanto, 2000:10).
2.3.2.1. Tokoh Protagonis
       Tokoh protagonis adalah tokoh yang harus mewakili hal-hal positif dalam kebutuhan cerita. Tokoh ini biasanya cenderung menjadi tokoh yang disakiti, baik dan mederita sehingga akan menimbulkan simpati bagi penontonnya. Tokoh protagonis ini biasanya menjadi tokoh sentral, yaitu tokoh yang menenntukan gerak adegan” (Suban, 2009:68). Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita.
2.3.2.2. Tokoh Antagonis
      “Tokoh Antagonis adalah kebalikan dari tokoh protagonis. Tokoh dalam peran ini harus mewakili hal-hal negatif dalam kebutuhan cerita. Tokoh antagonis ini biasanya cenderung menjadi tokoh yang menyakiti tokoh protagonis. Dia adalah tokoh yang jahat sehingga akan menimbulkan rasa benci atau antisipasi penonton” (Suban, 2009:68). Tokoh antagonis dalam sebuah cerita selalu berlawanan dengan tokoh protagonis, mereka (tokoh protagonist dan tokoh antagonis) tidak pernah akur.
2.3.2.3. Tokoh Tritagonis
      “Tokoh Tritagonis adalah tokoh pendamping. Baik untuk mendampingi tokoh protagonis maupun antagonis. Tokoh ini bisa menjadi pendukung atau penantang tokoh sentral, tetapi juga bisa menjadi penengah atau perantara tokoh sentral. Posisinya menjadi pembela tokoh yang didampinginya” (Suban, 2000:68). Dalam beberapa novel, tokoh tritagonis bertindak sebagai pelerai tokoh protagonis dan tokoh antagonis sehingga perselisihan mereka dapat berakhir.
2.4. Plot / Alur
      Peristiwa yang diatur atau diurutkan itu membangun tulang punggung cerita, itulah alur. Ada yang mengibaratkan alur sebagai rangka dalam tubuh manusia. (Widajat, 1994:86). Sebuah karya sastra tanpa alur akan terasa hampa, tidak ada awalan, tidak akan timbul persoalan, dan apabila tidak timbul persoalan maka tidak ada penyelesaian. “Begitu juga apabila karya tersebut memiliki alur namun tidak mengandung konflik, cerita tersebut akan terasa begitu datar dan hambar. Intisari sebuah plot adalah konflik. Akan tetapi, sebuah konflik dalam cerita tidak bisa tiba-tiba dipaparkan begitu saja. Harus ada dasarnya. Itulah sebabnya, plot sering dikupas menjadi elemen-elemen berikut: (1) eksposisi atau perkenalan, (2) komplikasi atau permulaan konflik, (3) penanjakan konflik, (4) klimaks, (5) penyelesaian” (Widajat, 1994:86).
2.4.1. Eksposisi atau perkenalan
      “Pada tahap ini dijelaskan beberapa pelaku. Selain itu juga diceritakan di mana dan kapan cerita itu terjadi.” (Widajat, 1994:86). Tahap ini masih berupa permulaan. Dalam tahapan inilah keterangan-keterangan penting tentang tokoh dalam cerita yang masih ada hubungannya dengan tahapan berikutnya. Tahap ini masih berupa awalan, memperkenalkan tentang tokoh, latar belakangnya, masa kecil, dan hal-hal yang mendasar lainnya.
2.4.2. Komplikasi atau permulaan konflik
      “Pada tahap ini tokoh cerita mendapatkan berbagai kesulitan dan hambatan. Kesulitan atau hambatan itu bisa menyangkut fisik dan dapat pula berhubungan dengan batin yang dialami tokoh cerita tetapi intensitasnya masih lemah dan biasa-biasa saja” (Widajat, 1994:86). Pada fase inilah mulai muncul permasalahan, namun intensitas dan kadar kesulitannya masih sedikit.
2.4.3. Penanjakan konflik
      “Penanjakan konflik timbul ketika mulai terjadi peristiwa ketika tokoh antagonis berusaha memaksakan keinginannya kepada pelaku protagonis. Sebaliknya, pelaku protagonis menolak pemaksaan tersebut sehingga konflik semakin meningkat” (Widajat, 1994:86). Dengan kondisi yang seperti itu maka jalan cerita menjadi semakin runyam.
2.4.4. Klimaks
      “Pada tahap ini tokoh utama ingin memecahkan diri dari keruwetannya, tetapi keinginannya gagal karena tidak menemukan jalan untuk memenuhi idenya. Oleh sebab itu, tokoh utama tadi tetap pada kenyataan semula” (Widajat, 1994:86). Pada tahap ini pula perubahan-perubahan penting dalam hubungannya dengan nasib, sukses atau tidaknya tokoh utama dalam cerita itu dapat dilihat.
2.4.5. Penyelesaian
      “Di sini tokoh utama masih berusaha mencari jalan dari keruwetannya dalam situasi baru. Mungkin muncul orang ketiga yang menyebabkan beralihnya persoalan. Kehadiran orang ketiga ini memaksa tokoh utama memenuhi kewajiban yang belum diselesaikan” (Widajat, 1994:86). Terasa konflik mulai mengendor dan secara lambat mengarah pada penyelesaian
2.5. Latar / Setting
      Latar atau setting meliputi tempat, waktu, dan budaya yang digunakan dalam suatu cerita. Latar dalam suatu cerita bisa bersifat faktual atau bisa pula yang imajiner. Latar berfungsi untuk memperkuat atau mempertegas keyakinan pembaca terhadap jalannya suatu cerita. Dengan demikian apabila pembaca sudah menerima latar itu sebagai sesuatu yang benar adanya, maka cenderung dia pun akan lebih siap dalam menerima pelaku ataupun kejadian-kejadian yang berada dalam latar itu (Kosasih, 2012:67). Beberapa pengarang dapat menggambarkan latar cerita dan terasa begitu hidup walau hanya dengan beberapa kalimat saja. Namun ada juga pengarang yang menggambarkan latar cerita dengan begitu panjang, berbelit-belit, bahkan ada yang mencapai lebih dari tiga paragraf dan itu cenderung membuat pembaca merasa bosan dengan penjelasan yang diberikannya. Penjelasan latar memang harus dijabarkan dengan jelas tanpa perlu berbelit-belit.
2.6. Sudut Pandang
      Point of view adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita. Posisi pengarang ini terdiri atas dua macam sebagai berikut: (1) Berperan langsung sebagai orang pertama, (2) Hanya sebagai orang ketiga yang berperan sebagai pengamat.
2.6.1. Posisi Pengarang dalam Membawakan Cerita
2.6.1.1. Berperan Langsung Sebagai Orang Pertama
Berperan langsung sebagai orang pertama, sebagai tokoh yang terlihat dalam cerita yang bersangkutan. Pengarang menjadikan dirinya sebagai salah satu tokoh dalam cerita. Ia menggunakan sudut pandang atau cara bercerita orang pertama, terkadang bisa menjadi tokoh utama dan bisa menjadi tokoh sampingan,
2.6.1.2. Hanya Sebagai Orang Ketiga Yang Berperan Sebagai Pengamat
Hanya sebagai orang ketiga yang berperan sebagai pengamat berarti pengarang hanya menceritakan apa yang terjadi pada tokoh-tokohnya tanpa ia perlu masuk ke dalam cerita dan menjadi salah satu tokoh.
      “Selain itu, sudut pandang suatu cerita dapat pula dibedakan sebagai berikut. Sudut pandang (point of view) adalah posisi pengarang atau narator dalam membawakan cerita. Posisi pengarang dalam menyampaikan ceritanya dapat dilakukan dengan cara-cara berikut: (1) Narator serba tahu, (2) Narator bertindak objektif, (3) Narator ikut aktif, (4) Narator sebagai peninjau” (Kosasih, 2012:70-71).
2.6.2. Posisi Pengarang dalam Menyampaikan Cerita
2.6.2.1. Narator Serba Tahu
Dalam kedudukan ini, pengarang memposisikan dirinya sebagai seorang narator yang mengetahui segala perilaku, sifat, dan pola pikir tokoh, sehingga ia dapat mendefinisikannya dengan jelas kepada para pembaca
2.6.2.2. Narator Bertindak Objektif
Dalam kedudukan ini, pengarang tidak ingin ikut campur dalam menjelaskan tokoh, ia hanya memberikan “pandangan mata” kepada pembaca, dan membiarkan pembaca menafsirkan sendiri apa yang diceritakan oleh pengarang.
2.6.2.3. Narator Ikut Aktif
Dalam kedudukan ini, narator berperan aktif dalam cerita sebagai suatu tokoh dimana ia hanya dapat mengamati dan menafsirkan perilaku tokoh utama atau tokoh lain tanpa bisa membaca pikirannya.
2.6.2.4. Narator Sebagai Peninjau
Dalam kedudukan ini, pengarang memilih tokoh lain untuk menceritakan tentang si tokoh utama. Sifatnya hampir sama seperti teknik orang pertama namun lebih fleksibel dan bebas dalam bercerita
2.7. Amanat
      “Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu. Tidak jauh berbeda dengan bentuk cerita lainnya, amanat dalam cerpen akan disimpan rapi dan disembunyikan pengarangnya dalam keseluruhan isi cerita. Karena itu, untuk menemukannya, tidak cukup dengan membaca dua atau tiga paragraf, melainkan harus menghabiskannya sampai tuntas” (Kosasih, 2012:71). Setiap cerita tentu mengandung pesan atau makna yang tersendiri. Untuk memahaminya, kita harus membaca keseluruhan karya tersebut, kemudian ambil kesimpulan mengenai cerita itu, resapi dan pahami, pasti kita dapat mengetahui maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam menuliskan karya tersebut.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

0 Comments:

Posting Komentar