BAB IV
PEMBAHASAN UNSUR-UNSUR
INTRINSIK KARYA SASTRA
DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT K. MIHARDJA
Dala
pembahasan kali ini, penulis akan membahas tentang unsur intrinsik dalam novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja. Penulis
memilih novel Atheis karya Achdiat K.
Mihardja karena penulis merasa novel tersebut memiliki banyak hal menarik.
Pertama, dalam novel ini menceritakan tentang kisah hidup seseorang yang
menganut Islam yang terbiasa mendapat pengajaran agama secara doktrin, sehingga
ketika ia dihadapkan pada paham lain, ia tidak dapat menampik atau mematahkan
paham tersebut, dan semakin lama keimanannya justru menjadi semakin goyah. Hal
tersebut banyak terjadi pada kehidupan manusia beragama di Indonesia. Metode
yang digunakan para pendidik atau gurunya dalam mengajarkan agama adalah metode
doktrin, sehingga kebanyakan dari mereka tidak benar-benar memahami tentang
agamanya, ketika mereka dihadapkan pada sebuah perdebatan mengenai paham baru,
mereka tidak dapat mematahkan argumen lawan bicaranya, dan mereka menjadi
semakin mudah terpengaruh pada paham yang lain. Kedua, dalam novel Atheis tidak hanya menceritakan mengenai
agama, tetapi juga mengenai dilema percintaan dan keluarga. Dalam novel Atheis dikisahkan bahwa Hasan mencintai
Rukmini, tetapi orangtua Hasan tidak setuju karena Rukmini berasal dari
keluarga terpandang, sementara orang tua Hasan menginginkan Hasan menikah
dengan wanita yang biasa saja. Sehingga mereka terpaksa berpisah dan Rukmini
akhirnya dinikahkan dengan pria lain oleh orang tuanya. Lalu Hasan mencintai
Kartini, tetapi orangtua Hasan juga tidak setuju karena Kartini adalah seorang
atheis. Hasan terlibat adu mulut dengan ayahnya, tetapi karena kecintaannya
kepada Kartini, Hasan lebih memilih untuk menikah meskipun tanpa restu dari
kedua orangtuanya. Namun rumah tangga mereka tidak berjalan harmonis. Banyak
terjadi pertengkaran karena berbagai hal. Hingga akhirnya mereka berdua
memutuskan untuk bercerai.
3.1. Sinopsis Novel Atheis
Karya Achdiat K. Mihardja
Hasan adalah
seorang pemuda yang lahir dari keluarga yang fanatik terhadap agama Islam. Ia
tumbuh menjadi pemuda yang taat beribadah, lugu, patuh, dan sangat berbakti
pada kedua orang tuanya. Saat Hasan beranjak dewasa, ia melanjutkan sekolahnya
ke Bandung. Di Bandung ia berkenalan dengan Rukmini dan menjalin hubungan
dengannya, tetapi kedua orang tua mereka tidak menyetujui hubungan tersebut.
Rukmini dinikahkan dengan orang lain dan sejak saat itu Hasan lebih berfokus
untuk ibadah agar ia bisa lebih dekat dengan sang pencipta. Ia pun mengikuti
jejak ayahnya yang menganut ilmu tarekat.
Saat ia sedang
bekerja, Hasan bertemu dengan Rusli yang merupakan sahabat lamanya. Ia melihat
seorang gadis cantik yang mempesona di samping Rusli. Gadis itu bernama
Kartini. Kartini adalah seorang janda. Dahulu ia dinikahkan paksa oleh kedua
orang tuanya dengan seseorang yang sudah sangat tua tetapi lelaki tersebut
sangatlah kaya, sehingga saat Kartini bercerai dari lelaki tua tersebut, ia
membawa banyak warisan. Mulai saat itu pun Kartini berniat untuk menjadi
seorang wanita yang tegar dan tangguh. Kartini dan Rusli memang sangat akrab,
namun hanya sebatas hubungan kakak dan adik saja. Kartini menganggap Rusli
adalah orang yang dapat melindunginya.
Sejak
pertemuannya tersebut Hasan mulai menaruh hati pada Kartini, ia pun mulai
senang untk berkunjung ke rumah Rusli hanya untuk sekedar bertanya tentang
Kartini. Semakin sering Hasan bertemu dengan Rusli dan Kartini, Hasan semakin
memahami tentang cara berpikir kedua orang itu, dan ia tahu bahwa Rusli dan
Kartini tidak percaya adanya Tuhan. Di setiap pembicaraan mereka, Hasan selalu
tidak bisa mengedalikan diri saat argumen-argumen yang dikeluarkan Rusli logis
adanya. Namun, akhirnya ia menyimpulkan untuk membantu Rusli dan Kartini ke
jalan yang benar. Namun usaha Hasan gagal, dan menjadi semakin parah ketika
Hasan juga berkenalan dengan teman Rusli yang lain, yakni Anwar. Anwar adalah
seorang atheis yang pandai. Karena kepandaian Anwar mempengaruhi Hasan,
akhirnya Hasan mulai terpengaruh. Kesalehan yang selama ini melekat dalam
dirinya perlahan-lahan luntur. Ia mulai meragukan keberadaan Tuhan dan mulai
tidak taat beribadah. Kedua orang tua Hasan mengetahui hal tersebut dan mereka
merasa sangat kecewa pada Hasan, mereka mengusir Hasan dari rumah.
Kepercayaannya terhadap tuhan benar–benar luntur saat ia menjalin hubungan
dengan Kartini.
Di mata Hasan,
sosok Kartini sangat mirip dengan Rukmini. Hasan dan Kartini pun akhirnya
menikah meskipun tanpa restu orang tua. Pernikahan dipahami Hasan sebagai
perasaan suka sama suka. Pernikahan Hasan dan Kartini selalu diwarnai dengan
pertengkaran. Sikap Kartini yang menganut faham kebebasan membuat Hasan tidak
terima dan menganggap Kartini sebagai seorang wanita yang tidak bisa menghargai
suaminya. Ia pun seringkali memukuli Kartini karena kecemburuannya terhadap
sikap Kartini dan Anwar. Hasan merasa bahwa di belakangnya, istrinya tersebut
berselingkuh dengan Anwar. Kartini tetap saja mengelak. Hingga pada akhirnya
mereka pun bercerai. Karena persoalan-persoalan inilah Hasan kembali
membutuhkan kekuatan Tuhan. Kesadaran inilah yang membuat Hasan merasa berdosa
tidak hanya kepada orangtuanya tetapi juga kepada Allah. Ia menyesal telah
meninggalkan nilai-nilai keagamaan dalam dirinya.
Setelah ia
bercerai dengan Kartini ia pun pulang ke rumahnya. Untuk bertemu dengan kedua
orang tuanya dan meminta maaf atas apa yang telah ia perbuat. Ia ingin bersujud
di kaki ayahnya yang ternyata tengah sakit parah. Ayahnya tidak sudi dan tidak
menerima semua permintaan maaf yang Hasan ucapkan. Ia pun menyuruh Hasan untuk
pergi dari rumahnya.
Lalu
saat ia pergi ke sebuah hotel ia mendapatkan fakta bahwa pada hari saat ia dan
istrinya bertengkar, dan istrinya kabur dari rumah. Anwar dan Kartini berada
dalam satu kamar. Semakin memuncak kemarahannya saat ia mengetahui bahwa
istrinya berusaha menolak Anwar seperti yang diucapkan oleh pelayan di hotel tersebut.
Ia pun pergi mencari Anwar hingga tengah malam. Ia tidak sadar bahwa saat itu
telah terjadi jam malam sehingga ia pun tertembak oleh peluru yang menembus
punggungnya. Ia pun tewas di tempat kejadian dengan penuh rasa sesal.
3.2. Tema Novel Atheis Karya Achdiat K. Mihardja
Tema dalam novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja adalah
tentang kehidupan seseorang yang dalam pemahaman agamanya masih
setengah-setengah sehingga mudah terpengaruh oleh paham lain dan lingkungan di
sekitarnya. Hal ini dibuktikan dalam novel yang menceritakan bahwa Hasan adalah
seorang pemuda yang taat memeluk agama Islam, melaksanakan syari’at bahkan
mendalami ilmu tarikat. Namun cara mendidik yang dilakukan oleh orangtua dan
guru-guru Hasan adalah secara doktriner. Apapun yang dikatakan orangtua dan
guru adalah sesuatu yang benar, tidak perlu diragukan apalagi dipertanyakan
alasannya, karena memang sudah seperti itu hukumnya. Sehingga Hasan tumbuh
menjadi orang yang taat, tetapi tidak paham benar tentang agamanya. Ketika ia
bertemu dan berdebat dengan teman-temannya yang tidak mempercayai adanya Tuhan,
yakni Rusli, Kartini, dan Anwar, Hasan tidak dapat berkata apa-apa, ia tidak
dapat mematahkan penjelasan mereka, dan justru ia semakin terpengaruh dengan
mereka. Akhirnya ia pun menjadi seorang atheis.
3.3. Tokoh dan Penokohan dalam
Novel Atheis Karya Achdiat K.
Mihardja
3.3.1. Tokoh dalam Novel Atheis Karya Achdiat K. Mihardja
Berikut
ini adalah tokoh-tokoh dalam novel Atheis
karya Achdiat K. Mihardja:
3.3.1.1. Tokoh Protagonis dalam
Novel Atheis Karya Achdiat K.
Mihardja
Dalam
novel Atheis karya Achdiat K.
Mihardja, yang berperan sebagai tokoh protagonis adalah Hasan. Selain itu,
Hasan juga menjadi tokoh utama dalam novel Atheis.
Hal ini dibuktikan dengan cerita yang ada dalam novel, seluruhnya menceritakan
tentang perjalanan hidup Hasan, mulai ia kecil hingga ia wafat. Di novel juga
menceritakan tentang kegamangan Hasan akan kebenaran agama. Semula ia adalah
seorang muslim taat. “…Pada usia lima tahun aku sudah dididik dalam agama. Aku
sudah mulai diajari mengaji dan sembahyang…” (Mihardja, 1949:21). Namun di
tengah perjalanan hidupnya, ia bertemu kembali dengan Rusli, sahabat lamanya. Dari
pertemuan itu, ia menemukan teman baru yakni Kartini dan Anwar. Mereka bertiga
tidak percaya dengan adanya Tuhan. Mereka mempengaruhi Hasan dan Hasan pun
akhirnya terpengaruh dengan mereka dan paham-paham yang mereka anut. Namun
menjelang kematiannya, ia tersadar bahwa ia sangat membutuhkan Tuhan dan agama
untuk menjadi pegangan hidupnya. Pada akhirnya ia merasa tanpa agama hidupnya
menjadi tidak terarah dan berantakan.
3.3.1.2. Tokoh Antagonis dalam
Novel Atheis karya Achdiat K.
Mihardja
Dalam
novel Atheis karya Achdiat K.
Mihardja, yang berperan sebagai tokoh antagonis adalah Anwar. Anwar adalah seorang seniman anarkis dan nihilis yang
merasakan dirinya sebagai Tuhan. Dia terkenal sebagai seorang yang bermulut
besar, bersikap tak setia, dan mudah mempermainkan wanita.
“…Akan tetapi, entahlah,
terhadap Anwar itu, sejak mulai berkenalan di restoran dulu, tidak pernah aku
menaruh perasaan simpati kepadanya. Selalu ada semacam penghalang di antaraku
dengan dia itu, sekalipun tidak bisa dengan pasti kukatakan, apakah yang
menjadi penghalang itu: benci, iri, dengki, cemburu? Entahlah mungkin salah
satunya, mungkin pula semuanya. Mungkin juga hal itu dilantarankan, karena
kesan pertama daripada dia kepadaku sudah menimbulkan perasaan yang tidak enak,
yaitu jilatan matanya kepada Kartini dan segala gerak-geriknya, sampai-sampai
kepada sikapnya mengemukakan dirinya sebagai Tuhan…” (Mihardja, 1949:170).
Dalam kutipan di atas dijelaskan
bahwa tokoh “aku” atau Hasan menceritakan tentang perasaannya yang kurang
simpati pada Anwar. Ia merasa bahwa Anwar bukanlah orang yang baik, karena ia
melihat wanita dengan tidak sopan dan gerak-geriknya yang mencurigakan.
Setelah Hasan dan Kartini menikah, kecurigaan
Hasan terhadap Anwar menjadi semakin bertambah. “…Itulah,
maka aku tetap curiga terhadap Anwar itu, dan tidak suka aku melihat istriku
bergaul dengan dia…” (Mihardja, 1949:128). Ternyata Anwar menaruh hati pada Kartini dan ia selalu mengganggu
kehidupan rumah tangga Hasan dengan Kartini dengan berbagai hal. Mulai dari
sering mengajak Kartini makan di restoran hingga larut malam, mengirim surat
kaleng yang intinya memfitnah Hasan, dan banyak hal lain hingga akhirnya ia
berhasil merusak rumah tangga keduanya.
3.3.1.3. Tokoh Tritagonis dalam
Novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja
Dalam
novel Atheis karya Achdiat K.
Mihardja, yang berperan sebagai tokoh tritagonis adalah Rusli dan Kartini.
3.3.1.3.1. Rusli
Rusli adalah sahabat kecil Hasan yang bertemu
lagi di Bandung. Ia adalah tokoh awal yang memperkenalkan Hasan pada Kartini.
“…"Eh perkenalkan dulu, adikku,
Kartini (menoleh kepada perempuan itu). Tin! Tin! Perkenalkan, ini Saudara
Hasan, teman sekolahku dulu."…” (Mihardja, 1949:37). Pertemuan antara
kedua sahabat lama, yakni Hasan dan Rusli di Kotapraja merupakan awalan dari
seluruh cerita dalam novel Atheis karya
Achdiat K. Mihardja.
Ia juga memperkenalkan Hasan pada paham-paham
Marxisme, atheis, dan banyak hal yang sangat kontras dengan jiwa Hasan. Awalnya
Hasan selalu menampik paham yang dilontarkan oleh Rusli, tapi lama kelamaan ia
tertarik dan setuju dengan paham-pahamnya karena ia merasa paham tersebut
sangat berbeda dengan doktrin dan dengan adanya paham-paham tersebut pikirannya
jadi berkembang, ia bisa menggunakan akal dan menjadi manusia yang
sebenar-benarnya.
3.3.1.3.2. Kartini
Kartini adalah seorang gadis cantik
yang bernasib kurang beruntung. Ia dipaksa untuk menikah dengan laki-laki tua
yang kaya raya. Lalu Rusli datang dan menyelamatkan hidupnya, memotivasinya
hingga akhirnya ia bisa bangkit kembali. Kartini adalah seorang atheis dan gaya
hidupnya sangat modern.
Tokoh
Kartini adalah tokoh tritagonis yang mendukung tokoh protagonis. Ia mencintai
Hasan bahkan meminta Hasan untuk melindungi dirinya. “…"Lindungilah daku," bisiknya, meletakkan
kepalanya di atas dadaku…” (Mihardja, 1949:165). Setelah peristiwa itu, mereka
pun menikah.
3.3.2. Penokohan / Watak dalam
Novel Atheis Karya Achdiat K.
Mihardja
Setiap
tokoh pasti mempunyai watak. Berikut ini adalah uraian dari watak-watak tokoh
dalam novel Atheis karya Achdiat K.
Mihardja:
3.3.2.1. Watak Tokoh Protagonis
dalam Novel Atheis Karya Achdiat K.
Mihardja
Tokoh
protagonis dalam novel Atheis karya
Achdiat K. Mihardja adalah Hasan. Watak Hasan dalam novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja adalah sebagai berikut:
3.3.2.1.1. Pemalu
Salah
satu watak Hasan dalam novel Atheis adalah
pemalu. Sifat itu dijelaskan dalam novel Atheis
secara eksplisit. “…Tapi… harapan apa? Kabur-kabur rasanya masih. Nampaklah
perasaanku itu kepada Rusli? Entahlah. Kemudian aku merasa malu terhadap dia,
seakan-akan sudah pasti bagiku, bahwa Rusli itu sudah bisa menjenguk ke dalam
hati sanubariku melihat apa isinya pada saat itu.” (Mihardja, 1949:43). Kutipan
tersebut menjelaskan tentang perasaan malu Hasan karena ia merasa Rusli
menyadari akan perasaannya kepada Kartini. Ia memendam rasa pada Kartini tapi
ia tidak berani untuk mengungkapkannya, karena ia merasa Kartini adalah wanita
yang terlalu cantik da terlalu sempurna untuk bisa mendampinginya.
3.3.2.1.2. Tidak Memiliki Pendirian
Hasan dibesarkan dalam keluarga
kecil yang menganut agama Islam. Ayahnya adalah seorang penganut ilmu tarikat,
begitu juga dengan ibunya. Ia tumbuh dalam lingkungan yang benar-benar Islami
hingga menjadikannya seorang Islam taat. Meskipun menjadi seorang Islam taat,
ia tidak benar-benar memahami tentang agama Islam. Ia terbiasa didoktrin dan
tak pernah mempertanyakan tentang apa yang diajarkan, sehingga ia tidak
benar-benar mengerti. Dalam perjalanan hidupnya ia bertemu dengan Rusli,
Kartini, dan Anwar. Mereka bertiga tidak percaya akan adanya Tuhan. Rusli
menjelaskan kepada Hasan tentang pembentukan bumi yang semuanya berasal dari
reaksi kimia bukan dari Tuhan. “…Aku tidak percaya! Tidak boleh percaya!
Tentulah saja semua uraiannya itu diambilnya dari buku-buku bikinan orang-orang
yang murtad, yang kapir! Demikianlah seakan-akan hatiku mencetus dengan
tiba-tiba. Akan tetapi sekeras-kerasnya hatiku bersuara demikian, suara
lain tersisip-sisip juga menyelinap ke dalam kesadaran seperti
pelembungan-pelembungan air merembes dari bawah ke atas. Selidikilah dan
pelajarilah saja dulu...” (Mihardja, 1949:2). Ia tidak percaya. tapi ia juga
penasaran dengan paham itu.
Ia pun menyelidikinya dan beberapa bulan kemudian ia mulai
terpengaruh dengan paham-paham yang dilontarkan oleh Rusli padanya. “…Empat bulan yang lalu aku
masih meloncat dari kursiku mendengar tabuh berbunyi itu,» lekas-lekas bergegas
ke kamar mandi mengambil air wudhu. Tapi sekarang aku tetap saja terpaku pada
kursiku…” (Mihardja,1949:157). Ia tidak lagi merasa gelisah ketika meninggalkan
shalat, ia tak lagi peduli dengan shalat witir, dan mengaji. Ia kini tak begitu
membutuhkan Tuhan.
Namun
terkadang ia masih sembahyang, hanya pada saat-saat tertentu. “…Sembahyang
hanya kadang-kadang saja lagi kulakukan, yaitu apabila aku merasa terlalu berat
tertimpa oleh tekanan kesedihan yang tak terpikul lagi oleh batinku. Puasa sama
sekali sudah kupandang suatu perbuatan yang sesat. Dan tidak muntah-muntah atau
merasa jijik lagi kalau makan-makan di restoran Cina…” (Mihardja, 1949:168).
Saat ia benar-benar merasa susah, ia membangkitkan motivasi spiritualnya dengan
melaksanakan shalat. Ia tak lagi menunaikan ibadah puasa dan tak lagi
memedulikan makanan yang halal dan haram.
3.3.1.3.
Pencemburu
Setelah bertengkar dengan orang tuanya,
Hasan memilih untuk meninggalkan rumah, ia menjadi seorang atheis, dan ia
memutuskan untuk menikah dengan Kartini, wanita yang sangat ia cintai. Pada
awalnya hidupnya bahagia, tetapi seiring berjalannya waktu dan semakin
banyaknya prahara yang menimpa rumah tangganya, ia menjadi seorang yang sangat
mudah cemburu. “…maka makin hari makin tipislah pula kepercayaanku akan
kejujuran cinta Kartini terhadap diriku…” (Mihardja, 1949:219). Rumah tangga
yang tidak dilandasi saling percaya maka akan menjadi rumah tangga yang tidak
harmonis. Begitu juga dengan kehidupan rumah tangga Hasan dan Kartini yang
semakin hari semakin berantakan karena keduanya saling mencemburui.
3.3.1.4. Emosional
Kartini menemukan sebuah surat dalam buku Hasan.
Surat itu berasal dari ayah Hasan. Dalam surat itu, ayah Hasan secara langsung
menolak pernikahan mereka berdua dan menjelek-jelekkan Kartini. Kartini tidak
terima, ia marah, dan balas menjelek-jelekkan ayah Hasan. “Akan tetapi
sebaliknya, pun aku sangat mudah naik darah. Memang, aku berada dalam
perselisihan dengan orang tuaku, tapi entahlah, kalau ada orang lain, sekalipun
itu istriku, yang berani mengejek-ejek atau menghina mereka, maka marahlah aku,
walaupun yang diejekkannya itu adalah sesuatu pendirian orang tua yang
kutentang pula.” (Mihardja, 1949:223). Permasalahan rumah tangga Hasan dan
Kartini dimulai dari surat tersebut, hingga berlanjut ke banyak permasalahan
lain.
Kehadiran Anwar dalam kehidupan rumah
tangganya menjadikan Hasan semakin naik pitam dan mudah emosi. Ditambah lagi
dengan gaya hidup Kartini yang tidak suka dikekang. Ia suka pulang larut malam
dan kebetulan di malam itu Kartini pulang bersama dengan Anwar. Hal itu membuat
Hasan semakin marah dan membuat Kartini semakin ketakutan, Kartini sembunyi di
dalam kamar dan mengunci kamarnya. Hasan menggedor hingga akhirnya pintu dibuka
oleh Kartini. “Baru saja pintu itu setengah
terbuka, aku sudah menubruk ke dalam seperti seekor harimau yang sudah lapar
mau menyergap mangsanya. Tar! Tar! Kutempeleng Kartini.” (Mihardja, 1949:229).
Kartini tak berdaya. Tetangga-tetangga yang melihat kejadian tersebut tak tega,
tetapi mereka juga tak berani menolong Kartini. Hasan menyiksa Kartini hingga
ia kesakitan.
3.3.2.2. Watak Tokoh Antagonis
dalam Novel Atheis Karya Achdiat K.
Mihardja
Tokoh
antagonis dalam novel Atheis karya
Achdiat K. Mihardja adalah Anwar. Watak Anwar dalam novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja adalah sebagai berikut:
3.3.2.2.1.
Menganggap Dirinya adalah Tuhan
Anwar
hampir sama dengan Rusli dan Kartini, mereka atheis. Pada awalnya ia mengatakan
bahwa Tuhan hanyalah madat, tetapi kemudian ia mengatakan bahwa dirinya adalah
Tuhan. “..“Tuhan itu adalah aku sendiri (telunjuknya sendiri menusuk dadanya).
Dan bersama Kloos aku berkata. Ik ben een god in het diepst van mijn gedach-ten
*)…" (tangannya melambai seperti seorang raja opera stambul terhadap
rakyatnya)…” (Mihardja, 1949:138). Ia merasa bahwa ia adalah manusia yang lebih
baik dari manusia-manusia lain, yang dapat melakukan apapun sesukanya, dan ia
menyebut dirinya sendiri adalah Tuhan.
3.3.2.2.2. Tidak Sopan
Di
sebuah restoran ia bertemu dengan Rusli, Hasan dan Kartini. Itu adalah
pertemuan pertamanya dengan Kartini dan Hasan. Tiba-tiba ia tertarik dengan
Kartini. Pandangannya ke arah Kartini sangatlah tidak sopan, sangat dipenuhi nafsu
birahi. Hal ini diceritakan dalam cuplikan novel Atheis. “…Dalam bercakap-cakap itu kulihat dia berkali-kali melirik
dengan ekor matanya ke arah Kartini, yang sedang tunduk membaca daftar makanan.
Jilatan matanya itu tidak menyenangkan hatiku. Jilatan mata orang pelacuran…”
(Mihardja, 1949:134).
Anwar
bukanlah pria yang bisa menghargai dan memperlakukan wanita dengan baik. Ia
mencintai Kartini, tetapi ia tidak menjaganya, ia justru ingin memiliki Kartini
dengan cara yang tidak benar. Ia ingin tidur dengan Kartini saat Kartini masih
menjadi istri Hasan. “…Tapi nafsu berahi Anwar terlalu kuat untuk memperhatikan
segala ancaman Kartini itu. Maka ditariknya tangan Kartini, lalu pinggangnya
dipeluknya lagi. Tapi licin seperti belut Kartini bisa melepaskan dirinya serta
melompat keluar dari sudut yang sempit itu…” (Mihardja, 1949:277).
3.2.2.2.3.
Selalu Ingin Menjadi Pusat Perhatian
Anwar
adalah orang yang selalu ingin terlihat lebih menonjol disbanding tokoh yang
lainnya. Ia sangat suka menjadi pusat perhatian orang-orang di sekelilingnya.
Ia memiliki berbagai cara untuk menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. “Kadang-kadang
ia berdiri untuk memperlihatkan sesuatu sikap atau gerak yang berhubungan
dengan apa yang sedang diceritakannya itu. Tentu saja para tamu lainnya pada
menoleh kepadanya.” (Mihardja, 1949:134-135). Beberapa dari tamu yang tertarik
pada cerita Anwar menoleh dan memperhatikannya. Menyadari hal itu, Anwar justru
malah semakin bersemangat untuk menceritakannya, tentunya dengan disertai
dengan berbagai ekspresi.
3.3.2.3. Watak Tokoh Tritagonis
dalam Novel Atheis Karya Achdiat K.
Mihardja
Dalam
novel Atheis karya Achdiat K.
Mihardja terdapat dua tokoh tritagonis. Yang pertama adalah Rusli, sahabat
Hasan di masa kecil. Yang kedua adalah Kartini, seorang janda jelita yang mampu
membuat Hasan jatuh hati. Berikut ini adalah watak kedua tokoh tersebut:
3.3.2.3.1. Watak Rusli
3.3.2.3.1.1. Tidak percaya dengan Adanya
Tuhan
Selama
perjalanan hidupnya, Rusli telah mempelajari berbagai paham, terutama
paham-paham yang berasal dari tokoh-tokoh terkemuka di luar negeri. Salah
satunya adalah Marx. Ia adalah seorang Marxis Leninis. Ia sangat mencintai ilmu
pengetahuan. Karena kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, menyebabkan dirinya
tidak mempercayai adanya Tuhan. “…“O ya, sebetulnya saya harus mulai dengan
menyatakan, bahwa segala apa yang ada di dunia ini mengalami sesuatu proses
kimia. Segala perobahan itu sebenarnya berarti perobahan kimia, berarti
berlakunya proses kimia."…” (Mihardja, 1949:85). Ia meyakini bahwa
penyebab dari terbentuknya bumi dan seisinya adalah karena proses kimia, bukan
karena diciptakan oleh Tuhan.
Dalam
sebuah perdebatan dengan Hasan, ia mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada. "Ah
mengapa Saudara berkata begitu? Itu pikiran kolot. Tuhan tidak ada,
Saudara!" (Mihardja, 1949:86). Bagi Rusli, orang yang mempercayai Tuhan
adalah orang-orang yang kolot, yang merasa terlalu lemah hingga ia tidak dapat
membentengi dirinya sendiri, dan merasa membutuhkan agama sebagai bentengnya
dan Tuhan sebagai motivasi spiritualnya.
Setelah
melalui perdebatan yang cukup panjang dengan Hasan, akhirnya Rusli mengakui
bahwa ia benar-benar seorang atheis. “…Rusli tersenyum. Katanya, "Ya,
kafir! Atau dengan kata asing disebut juga atheis. Memang banyak sekarang
orang-orang atheis. Tidak percaya lagi kepada Tuhan atau agama."…”
(Mihardja, 1949:88). Ia merasa Tuhan adalah hasil karya imajinasi manusia yang
jiwanya rapuh. Ia menganggap Tuhan adalah hasil imajinasi masyarakat yang tidak
sempurnya dan serba kekurangan.
3.3.2.3.1.2. Cerdas
Ia mempunyai pendidikan tinggi dan fasih
berbicara, dia sering menggunakan untuk menang debat mengenai ideologi. Hal ini
juga dijelaskan oleh tokoh Hasan dalam novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja. “…Kepandaian Rusli
terutama terletak dalam melukiskan dan mengupas watak para pelakunya dan dalam
mengemukakan perkara kecil-kecil yang muskil, tapi yang sebetulnya merupakan
cetusan-cetusan jiwa yang meletus ke luar dari "kesadaran bawah"
(seperti menurut istilah Rusli) dari para pelakunya. Aku merasa tertarik oleh
cara Rusli mengupas demikian itu.” (Mihardja,1949:83). Dalam kutipan tersebut
dijelaskan secara gambling bahwa Rusli adalah tokoh yang sangat cerdas, pandai
berbicara, dan bersifat persuasif.
Tak hanya itu, ia juga
memiliki pendasaran yang sangat logis dan rasional. Salah satu buktinya adalah
ketika ia menjelaskan bahwa manusia terbentuk dari proses kimia dan ia dapat
menjelaskan tentang keyakinannya bahwa suatu hari nanti manusia dapat membuat
nyawa sendiri.
"Juga
manusia adalah sesuatu benda yang terdiri dari bermacam-macam unsur kimia, yang
dengan sendirinya mengalami juga proses kimia. Dengan menggunakan ilmu kimia
atau ilmu pisah kita akan bisa mengetahui semua bagian-bagian atau unsur-unsur
yang menjadikan seorang manusia itu. Pada saat sekarang manusia belum sampai
kepada pengetahuannya untuk mengetahui benar-benar, apakah sebetulnya nyawa
itu. Kita baru bisa mengatakan, bahwa nyawa itu sangat halus. Dari unsur-unsur
apa terjadinya nyawa itu? Tentu dari unsur-unsur yang sangat halus pula yang
demikian halusnya, sehingga pada saat sekarang belum ada sesuatu alat bikinan
manusia yang bisa memotretnya atau melihatnya seperti dengan sebuah mikroskop.
Akan tetapi tidak mungkinkah bahwa sekali kelak manusia itu akan bisa juga
membikin sesuatu alat yang bisa digunakan untuk memeriksa dan mengetahui
benar-benar tentang Keadaan dan hakekat nyawa itu? Tahu akan unsur-unsurnya dan
bagaimana proses kimianya dan sebagainya? Nah, tidak mungkinkah pula, bahwa
manusia itu sekali kelak akan bisa menemui unsur-unsur yang belum ditemuinya di
udara sekarang ini, unsur-unsur mana akan ternyata bisa kita ambil dan gunakan
untuk membikin nyawa manusia?" (Mihardja,1949:85).
3.3.2.3.1.3. Pandai Berbicara
Kecerdasannya
tidak hanya dalam wawasan sosial, tetapi juga kecerdasan dalam bersosialisasi
dan menghadapi masyarakat. Ia sangat lihai berbicara dan mempropaganda orang
lain. “Sesungguhnya, harus kuakui, bahwa Rusli itu adalah orang yang sangat
pandai berbicara, terutama sekali oleh karena rupanya ia berhati-hati benar,
supaya segala apa yang diuraikannya itu jangan sampai menyinggung hati orang
lain…” (Mihardja, 1949:100). Dalam kutipan tersebut, Hasan menjelaskan bahwa
Rusli adalah orang yang sangat cerdas dan sangat hati-hati dalam berbicara. Ia
menguraikan pendapat-pendapatnya kepada lawan bicaranya yang memiliki paham
yang sangat kontras dengannya. Namun ia dapat menyampaikan segala pendapatnya
dengan sangat hati-hati agar tidak menyakiti hati lawan bicaranya.
Rusli
adalah tokoh yang sangat persuasif. Ia dapat membuat orang-orang tertarik
dengan topik yang ia bawakan. Ia membawakan topik pembicaraan dengan santai dan
mudah difahami. Ia tidak pernah berlagak seperti seseorang yang sangat
terpelajar. “…Orang suka sekali mendengarkan uraian-uraiannya, karena sangat
jelas dan mudah difahami, juga oleh orang-orang yang tidak begitu terpelajar.
Memang, tujuan Rusli pun bukan mengemukakan kepandaian dan pengetahuannya,
melainkan semata-mata untuk memberi penerangan tentang cita-cita politik yang
dianutnya. Tidak pernah ia berlagak-lagak memakai perkataan-perkataan asing…”
(Mihardja, 1949:107).
3.3.2.3.2. Watak Kartini
3.3.2.3.2.1. Gaya Hidup Kebarat-Baratan
Sikap
Kartini sangatlah menunjukkan bahwa ia bukanlah wanita yang menganut budaya
ketimuran. Ia menganut budaya kebarat-baratan yang serba bebas dan tidak ada
batasan antara laki-laki dan wanita. Terbukti bahwa ia tidak merasa canggung
sedikitpun ketika keluar masuk ke kamar seseorang yang bukan muhrimnya. “Aku
tercengang-cengang saja melihat semua itu. Ia masuk ke kamar. Kamar seorang
laki-laki bujangan. Mimpikah aku? Atau bagaimana ini? .... Sungguh bebas ia!
Terlalu bebas, menurut ukuranku…” (Mihardja,1949:50). Dalam kutipan tersebut,
Hasan mengungkapkan tentang sikap Kartini yang sangat bebas. Ia dapat keluar
masuk kamar pria dengan mudahnya tanpa merasa canggung sedikitpun.
Mayoritas
wanita Indonesia adalah wanita yang sangat sopan, bertingkah laku lembut, dan
menganggap rokok adalah hal yang tabu. Namun tidak dengan Kartini. Baginya
merokok adalah hal yang sangat biasa. “…"Saudara Rusli tidak suka merokok
sigaret. Ia lebih suka rokok kawung atau sek," kata Kartini, memasukkan
rokoknya ke dalam mulut…” (Mihardja,1949:53). Tanpa rasa canggung, ia
memasukkan rokok ke dalam mulut, menjepit sigaretnya dengan telunjuk dan jari
tengahnya yang runcing itu, cara mengeluar-masukkan sigaretnya ke bibir dan
terutama pula lenggak-lenggik tangannya yang berirama seperti serimpi, semakin
menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa merokok.
3.3.2.3.2.2.
Menginginkan Kebebasan
Kartini
telah mengalami banyak derita dalam kehidupannya. Ia pernah dipaksa menikah
dengan lelaki tua yang tidak ia cintai, karena hal tersebut, ia merasa bahwa
dunia sangatlah tak adil, memperlakukan wanita seenaknya dan benar-benar
menganggap wanita sebagai barang murah yang bisa diperjual belikan dengan
mudah, termasuk dengan kehormatan wanita. “…"Korban kapitalisme! Mereka
sampai-sampai menjual kehormatannya, karena tak sanggup mencari sesuap nasi.
Karena masyarakat terlalu bobrok, tak sanggup memberi pekerjaan yang halal
kepada orang-orang yang malang itu! (mendesis-desis suaranya). Cih!
Massssyyarakat bobrok kaya gini. Mana jaminan hidup untuk warganya!"…”
(Mihardja, 1949:60).
3.4.
Plot / Alur dalam Novel Atheis Karya
Achdiat K. Mihardja
Alur dalam novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja adalah alur
campuran. Hal ini dibuktikan dengan kisah dala novel tersebut yang diawali
dengan cerita kematian Hasan, kemudian dilanjutkan dengan tokoh saya yang
mengingat-ingat kejadian sebelum Hasan wafat. Hasan pernah menitipkan sebuah
karangan padanya, ia membaca kembali karangan itu, dan cerita mengenai
kehidupan Hasan pun dimulai.
2.4.1. Eksposisi atau perkenalan
Tokoh
“aku” dalam novel adalah Hasan. Pada tahap awal, ia memperkenalkan keadaan
lingkungan di masa kecilnya. “…Di lereng gunung
Telaga Bodas di tengah-tengah pergunungan Priangan yang indah, terletak sebuah
kampung, bersembunyi di balik hijau pohon-pohon jeruk Garut, yang segar dan
subur tumbuhnya berkat tanah dan hawa yang nyaman dan sejuk. Kampung Panyeredan
namanya. Kampung itu terdiri dari kurang lebih dua ratus rumah besar kecil…” (Mihardja, 1949:14). Masa kecilnya ia lewati di
kamping Panyeredan di daerah Garut, sebuah daerah yang nyaman dan sejuk.
Kemudian
ia memperkenalkan anggota keluarganya. “…Di salah sebuah rumah setengah batu
itulah tinggal orang tuaku, Raden Wiradikarta. Ia seorang pensiunan manteri
guru. Dengan pensiunnya yang besarnya hanya enam puluh rupiah, ia bisa hidup
sederhana di kampung itu…” (Mihardja, 1949:15). Ayahnya adalah orang biasa yang
hidupnya sangat sederhana. Beliau adalah seorang pensiunan guru.
Ia
menceritakan bahwa keluarganya sangatlah relijius. “…Ayah dan ibuku tergolong
orang yang sangat saleh dan alim. Sudah sedari kecil jalan hidup ditempuhnya
dengan tasbeh dan mukena. Iman Islamnya sangat tebal…” (Mihardja, 1949:16).
Kedua orang tuanya sudah taat beribadah sejak kecil. Bagi mereka berdua, shalat
adalah sebuah kebutuhan dan kenikmatan yang luar biasa.
Setelah menceritakan keadaan
keluarganya, kemudian ia menceritakan tentang tokoh yang sangat mempengaruhi kehidupannya,
yaitu Rusli. “…Laki-laki itu kira-kira berumur dua puluh delapan tahun.
Parasnya tampan, matanya menyinarkan intelek yang tajam. Kening di atas pangkal
hidungnya bergurat, tanda banyak berpikir. Pakaiannya yang terdiri dari sebuah
pantalon flanel kuning dan kemeja creme, serta pantas dan bersih. Ia tidak
berbaju jas, tidak berdasi…” (Mihardja, 1949:35). Rusli adalah seorang pria
tampan yang terpelajar dan sopan dalam bertutur kata.
Berikut ini adalah kutipan ketika
tokoh “aku” dalam novel Atheis saat
menjelaskan mengenai Kartini. “…Wanita itu nampaknya tidak jauh usianya dari
dua puluh tahun. Mungkin ia lebih tua, tapi pakaian dan lagak-lagunya
mengurangi umurnya. Parasnya cantik. Hidungnya bangir dan matanya berkilau
seperti mata seorang wanita India. Tahi lalat di atas bibirnya dan rambutnya
yang ikal berlomba-lombaan menyempurnakan kecantikannya itu. Badannya lampai
tapi penuh berisi…” (Mihardja, 1949:35). Tokoh “aku” menggambarkan Kartini
begitu sempurna. Parasnya ayu, hidungnya mancung, matanya indah, rambutnya
bergelombang, dan tubuhnya lampai.
2.4.2. Komplikasi atau permulaan konflik
Pada saat Hasan berkunjung ke rumah
Rusli, Rusli mengaku bahwa ia atheis. Dari situ, Hasan ingin menyadarkan Rusli
dan Kartini mengenai Tuhan agar mereka bisa kembali ke jalan yang benar. “…Mesti! Mesti! Aku mesti bikin
mereka sadar akan kewajibannya sebagai orang-orang Islam! Seolah-olah jendral
agama rasaku yang hendak menundukkan kapir-kapir…” (Mihardja, 1949:69). Kutipan
diatas adalah merupakan kata batin Hasan yang berniat untuk menyadarkan Rusli
dan Kartini.
2.4.3. Penanjakan konflik
Rencana
awal, Hasan ingin menyadarkan Rusli dan Kartini menuju jalan yang benar. Akan
tetapi justru ia lah yang terperangkap dalam kesalahan. Ia menjadi seorang
atheis karena terpengaruh oleh
keadaan sekitar. “…Empat bulan yang lalu aku masih
meloncat dari kursiku mendengar tabuh berbunyi itu,» lekas-lekas bergegas ke
kamar mandi mengambil air wudhu. Tapi sekarang aku tetap saja terpaku pada
kursiku…” (Mihardja,1949:157). Ia tak lagi membutuhkan shalat, dzikir, dan
puasa.
2.4.4.
Klimaks
Hasan
bertengkar hebat dengan Kartini hingga Kartini dipukuli olehnya. Sampai
akhirnya Kartini berniat pergi ke kampung halamannya, namun ia bertemu dengan
Anwar. Lalu mereka pergi ke sebuah penginapan. Disana, Anwar hendak melakukan
tindakan buruk pada Kartini, ia ingin tidur dengan Kartini, tetapi Kartini
menolak lalu ia pergi menyelamatkan diri.
2.4.5. Penyelesaian
Hasan
meninggal dunia.
3.5. Latar / Setting dalam Novel Atheis Karya Achdiat K. Mihardja
Latar
terbagi menjadi tiga bagian, yang pertama adalah latar tempat, kemudian latar
waktu, dan yang terakhir adalah latar suasana.
3.5.1. Latar Tempat dalam Novel Atheis Karya Achdiat K. Mihardja
3.5.1.1. Kampung Panyeredan
Kampung Panyeredan adalah tempat Hasan dilahirkan
dan dibesarkan. Kampung Panyeredan adalah kampung sederhana, nyaman, dan sejuk.
“Kampung Panyeredan namanya. Kampung itu terdiri dari kurang lebih dua ratus
rumah besar kecil.” Kampung itu adalah kampung yang cukup sepi, tidak terlalu
padat penduduk.
Setelah
dewasa, Hasan merantau ke Bandung dan mencari nafkah disana. Setelah beberapa
saat, ia kembali ke desa Panyeredan untuk menjenguk orang tuanya dengan
ditemani oleh Anwar. “Dengan delman itu kami dibawa ke kampung Panyeredan,
kira-kira lima kilometer ke atas.”
3.5.1.2. Loket di Kotapraja
Hasan bekerja di kantor Geemente atau Kotapraja. Ia
bekerja sebagai klerk. “…Loket bagian jawatan air dari Kotapraja tidak begitu
ramai seperti biasa. Ruangan di muka loket-loket yang berderet itu sudah tipis
orang-orangnya…” (Mihardja, 1949:34).
Ketika ia sedang bekerja menjual
karcis di loket, ia bertemu dengan sahabat lamanya, yakni Rusli. Disitulah awal
kali pertemuan Hasan dengan Kartini, seorang janda cantik bertubuh lampai.
3.5.1.3. Rumah Bibi
Hasan
tinggal di rumah bibinya sejal ia bersekolah di Mulo (Meer Uitgcbrcid Lager
Onderwijs) - setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama. “…Aku tinggal pada bibi
itu sejak bersekolah di Mulo. Bibi adalah seorang janda yang telah berusia
kira-kira lima puluh tahun…” Ia berada di rumah bibi hingga ia bekerja dan
ketika ia menikah, ia memutuskan untuk pindah ke rumah istrinya di Lekong Besar
27.
3.5.1.4. Rumah Rusli / Kebon Manggu
11
Setelah pertemuan Hasan, Rusli, dan Kartini di loket
di Kotapraja, Rusli mengundang Hasan untuk berkunjung ke rumahnya yakni di
Kebon Manggu 11. “…Tepat jam setengah lima seperti telah dijanjikan, aku tiba
di rumah Rusli. Tidak sukar mencari nomor sebelas itu...” (Mihardja, 1949:40).
Disana mereka bercakap-cakap mengenai banyak hal sambil merokok bersama.
3.5.1.5. Rumah Kartini / Lengkong
Besar 27
Pada
awal-awal perkenalan antara Hasan dan Kartini, Hasan sempat mengunjungi rumah
Kartini di jalan Lengkong Besar 27. “…Tapi pada saat itu juga, Kartini sudah
menjenguk dari dalam rumah ke serambi muka…” (Mihardja, 1949:118). Saat Hasan
mengunjungi rumah Kartini, ia mendapat sambutan baik.
Setelah
mengadakan pesta perkawinan sederhana, Hasan dan Kartini memutuskan untuk
tinggal di rumah Kartini di Lengkong Besar. “…Atas permintaan Kartini aku
pindah ke rumahnya di Lengkong Besar. Maka mulailah halaman-halaman baru dalam
hidupku. Dan segala-gala terasa olehku berlaku dengan sangat cepatnya…”
(Mihardja, 1949:217). Hari-hari mereka lalui di dalam rumah itu.
3.5.2.
Latar Waktu
3.5.2.1. 1 Oktober 1942
Tepat pada tanggal 1 Oktober 1942, Hasan
telah membina rumah tangganya bersama Kartini selama tiga setengah tahun. “…1
Oktober! Kuhitung dengan jari: Februari, Maret, April, Mei, Juni....... Tiga tahun setengah kira-kira sejak 12 Februari
1941. Sejak aku kawin dengan Kartini…” (Mihardja, 1949:217). Sejak tanggal 1
Oktober 1942, berbagai permasalahan muncul dalam kehidupan rumah tangga mereka
berdua dan rumah tangga mereka menjadi semakin tidak harmonis.
3.5.2.2. 15 Februari 1943
15 Februari adalah hari ketika terjadi pertengkaran
antara Hasan dan Kartini. Setelah pertengkaran tersebut, Kartini memutuskan
untuk kabur dan bercerita pada Anwar. Ia ingin meminta perlindungan dan berbagi
cerita pada Anwar. Akan tetapi Anwar malah berniat jahat. Ia mengajak Kartini
ke sebuah hotel dan ia hendak menyalurkan nafsunya pada Kartini. Jongos yang
bekerja pada hotel itu mengetahui hal tersebut. “…Jongos membungkuk sedikit ke
atas buku-tamu itu. Membaca alon-alon, "Anwar? Tanggal 15 Februari ....
Kamar 8? ..." (Mihardja, 1949:303).
Si Jongos menceritakan hal yang ia ketahui kepada Hasan. “…'Tapi
entahlah, Tuan. Apa yang kemudian terjadi, saya kurang mengerti. Sebab saya
tiba-tiba mendengar dalam kamar itu cekcok. Perempuan itu kedengaran
memekik-mekik dan menyentak-nyentak dan tak lama kemudian ia keluar menjinjing
tas pakaiannya, bergegas ke jalan besar, memanggil delman, lalu pergi dengan
delman itu entah, ke mana...... Dan Sang Arjuna, Tuan?!....... Beberapa jurus
kemudian pergi juga ia dengan clela-clili seperti kucing yang tidak hasil
mencari daging."…”
3.5.3.
Latar Suasana
3.5.3.1.
Penyesalan
Saat
Hasan berkunjung ke kampung halamannya bersama Anwar, mereka menginap di rumah
keluarga Hasan. Pada saat itu, Hasan terlibat adu mulut dengan orang tuanya.
Hal tersebut dikarenakan orang tua Hasan kecewa apabila Hasan lebih memilih
untuk menjadi seorang atheis. Orang tua Hasan ingin anaknya beragama dengan
kuat dan sepenuh jiwa. Namun Hasan menentang. Hal itu membuat ayahnya marah. “…Kini
insyaflah aku, betapa tersayat-sayatnya rasa hati ibu dan ayah oleh
perkataan-perkataan tadi malam. Kini terasa benar olehku, betapa tidak
bijaksananya aku bercekcokan dengan ayah tadi malam. Sesungguhnya, serasa remuk
jiwaku kini. Remuk, karena rasa sesal menyayat-nyayat, rasa sedih
mengiris-iris…” Disaat perdebatan dengan ayahnya itulah Hasan mengungkapkan
segala hal dengan sejujur-jujurnya dan membuat kedua orang tuanya merasa amat
sangat tersakiti.
Scene yang menggambarkan penyesalan yang
lainnya adalah ketika Kartini mengetahui bahwa Hasan telah meninggal dunia. Mendengar
kabar mengenai kematian Hasan, Kartini segera menuju kantor Ken Peitai (Polisi Militer Jepang) untuk memastikan
kebenaran kabar tersebut yang ternyata memang benar adanya. Tubuhnya melemas
seketika, ia merasa amat sangat menyesal pada dirinya sendiri. Ia merasa
terlalu banyak membangkang pada suaminya, ia belum bisa menjadi wanita yang
mampu mendampingi Hasan. “…Tak ada lagi orang, kepada siapa ia hendak
memperlihatkan sesalnya yang begitu berat menekan jiwanya selama itu. Ya,
kepada siapa? Kepada siapa? Dan sesal tiada berkurang karena bertanya demikian
itu. Malah sebaliknya! Makin membesar, makin menekan, makin menindas…”
(Mihardja, 1949:9). Ia ingin meminta maaf pada Hasan, ia ingin memperbaiki
semuanya, memulainya kembali dari awal, dan berusaha menjadi pendamping hidup
yang terbaik untuknya. Namun semua itu telah terlambat, karena Hasan telah
pergi untuk selama-lamanya.
3.5.3.2.
Bahagia
Jatuh cinta adalah
fitrah manusia. Seluruh umat manusia ingin mencintai dan dicintai, begitu pula
dengan Hasan. “…Maka berdegap deguplah hatiku seperti tadi. Makin lama makin
keras.......dan dengan tidak terinsyafi lagi olehku", maka badan yang
lampai itu tiba-tiba kurentakkan, sehingga jatuhlah ke dalam pelukanku. Bibir
sama bibir bertemu dalam kecupan yang mesra. Dan melekat panas dalam pelukan
yang erat…” (Mihardja, 1949:145). Hasan mencintai Kartini dan ia merasa sangat
bahagia karena ternyata Kartini juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya.
3.5.3.3.
Menegangkan
Mahligai rumah tangga yang dibangun
Hasan bersama Kartini awalnya baik-baik saja. Namun setelah tiga setengah tahun
berlalu, timbul beberapa masalah dalam rumah tangga mereka, dan hal itu
menyebabkan kepercayaan Hasan terhadap istrinya semakin menipis. Pada malam
hari tanggal 1 Oktober Kartini tak kunjung pulang ke rumah. Ketika menjelang
larut, barulah Kartini pulang. Ia pulang bersama dengan Anwar. Mengetahui hal
tersebut Hasan pun tersulut emosi. Ia marah pada Kartini. Kartini ketakutan dan
memilih untuk bersembunyi dan mengunci diri di dalam kamar. Hasan
menggedor-gedor kamar untuk melampiaskan emosinya terhadap Kartini.
“Baru saja pintu itu setengah terbuka, aku sudah
menubruk ke dalam seperti seekor harimau yang sudah lapar mau menyergap
mangsanya.
Tar!
Tar! Kutempeleng Kartini.
“Aduh!” pekiknya sambil menutup pipinya yang kanan
dengan tangannya. Kujambak rambutnya! Kurentakkan dia dengan sekuat tenaga,
sehingga ia jatuh tersungkur ke lantai. Kepalanya berdentar kepada daun pintu.
Menjerit-jerit minta ampun!
Seluruh badanku bergetar! Seluruh badanku panas!
Panas terbakar api amarah! Api amarah yang menjolak-jolak keluar dengan sinar
mataku, dengan suaraku mebentak-bentak, berkaok-kaok.
3.6. Sudut Pandang dalam Novel Atheis Karya Achdiat K. Mihardja
Sudut pandang yang digunakan dalam
penulisan novel Atheis karya Achdiat
K. Mihardja adalah sudut pandang orang pertama pelaku utama. Dalam novel ini,
tokoh aku (Hasan) menceritakan kisah perjalanan hidupnya, mulai dari segi
agama, percintaan, dan keluarga. Ia bercerita mengenai segala hal yang terjadi
dalam hidupnya setelah ia bertemu dengan Rusli dan Kartini, dua orang yang
mampu merubah keseluruhan hidupnya, ditambah lagi dengan kehadiran Anwar.
3.7. Amanat dalam Novel Atheis Karya Achdiat K. Mihardja
Amanat yang ingin disampaikan oleh
pengarang melalui novel Atheis adalah
jangan sampai keimanan kita tergadaikan hanya karena cinta dan lingkungan
pergaulan semata. Segala hal yang terjadi dalam hidup adalah ujian, baik itu
kisah sedih maupun bahagia. Dalam novel Atheis
karya Achdiat K. Mihardja dikisahkan bahwa Hasan berteman dengan Rusli dan
ia jatuh cinta pada Kartini, mereka berdua atheis. Hal itu menjadikannya rela
melepas keimanannya hanya karena terpengaruh opini-opini dan paham yang
ditanamkan Rusli padanya dan karena ia telah dibutakan oleh cinta dan hawa
nafsu. Hingga akhirnya ia mendapatkan berbagai penderitaan yang teramat berat
dan ia baru menyadari akan kesalahannya di akhir cerita. Ia baru merasa bahwa
apa yang selama ini ia lakukan adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya dan ia
menyadari bahwa ia sangat membutuhkan Tuhan dan agama untuk menjadi petunjuk
dalam menjalani hidup.
Lihat juga: scrapbook buatanku :D