Pers dan Media Sosial (Indonesia dan Prancis)
Resume
Kuliah Tamu
Pers
dan Media Sosial (Indonesia dan Prancis)
Oleh:
Atikah Ayu Taqiyyah
NIM:
071411531004
Ilmu
Komunikasi
Universitas
Airlangga Surabaya
Selasa
pagi (31/03) seluruh mahasiswa komunikasi Universitas Airlangga (UNAIR)
angkatan 2013 dan 2014 berkumpul di Aula Gedung C FISIP. Tujuannya adalah untuk
mengikuti kuliah tamu yang membahas tentang Perbedaan Pers dan Media Sosial di
Indonesia dan di Jerman. Kegiatan ini merupakan bentuk kerjasama dari ilmu
komunikasi UNAIR dengan Institute Francais Indonesia (IFI). Acara ini menghadirkan
tiga orang narasumber, yakni Prof. Dr. Rachmah Ida, Ph.D. atau yang akrab
disapa dengan ibu Ida, selaku dosen dari ilmu komunikasi Universitas Airlangga,
Maud Watine, jurnalis media cetak Prancis, dan Andi Nurroni, jurnalis Republika
sekaligus anggota Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI), dan dimoderatori
oleh Kandi Aryani, MA, salah satu dosen ilmu komunikasi. Kuliah tamu ini
dimulai sejak pukul 10.30 WIB.
Di
awal acara, moderator menjelaskan tentang pokok bahasan dari pertemuan itu,
yakni apa saja perbedaan antara pers dan media sosial di Indonesia dan Prancis,
dan apakah dengan maraknya media sosial dapat membuka peluang baru atau bahkan
menjadi ancaman bagi pers di Indonesia maupun Prancis. Lalu moderator
mempersilahkan ibu Ida untuk mengawali bahasan dalam kuliah tamu. Beliau
memaparkan mengenai perkembangan pers dan media sosial. Beliau berkata bahwa
pada awalnya media sosial digunakan oleh bangsa Roma sebagai sarana propaganda.
Lalu seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, pers difungsikan sebagai
alat untuk menyebarkan berbagai informasi tentang permasalahan politik, perang,
dan berbagai hal lainnya. Penyebaran informasi makin maju dan praktis seiring
dengan munculnya world wide web (www).
Setelah
itu muncul sistem cetak jarak jauh. Sistem ini menjadikan berita yang bersumber
dari media cetak (koran) yang berlokasi di Jakarta dapat dicetak di Surabaya
dalam waktu yang bersamaan. Hal ini menjadi sangat menguntungkan sebab koran
tersebut dapat disebarluaskan dengan cepat ke berbagai kota atau bahkan negara.
Kemudian muncul juga berbagai situs berita online seperti yahoo, msn,
detik.com, dan lain sebagainya. Dengan hadirnya siyus berita online, pembaca
dapat mengetahui informasi lebih cepat dan aktual. Walaupun sudah ada situs berita
online, tetapi posisi koran sebagai media cetak tetap diminati oleh pembaca dan
mempertahankan eksistensinya.
Tak
berhenti di situ saja, kini hadir berbagai media sosial yang semakin menjamur
dan melekat di kalangan masyarakat, seperti facebook, instagram, path. Media
ini dapat digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan informasi bagi para
jurnalis. Juga sekaligus mempermudah mereka untuk mendapatkan berita, misalnya
berita gosip selebriti, jurnalis tidak lagi harus mewawancarai selebriti yang
terlibat dalam gosip itu, ia hanya perlu melihat akun media sosial selebriti
itu, kemudian mencantumkan status-statusnya dan dijadikan berita. Media sosial
juga dapat digunakan sebagai sarana kampanye, sarana protes masyarakat terhadap
pemerintah dengan cara yang etis, serta pemberitaan mengenai seseorang yang
memerlukan bantuan dan penggalangan dana. Di akhir pemaparan, ibu Ida
menjelaskan bahwa media sosial dapat bermanfaat atau bahkan malah berbahaya,
tergantung dari oknum yang menggunakannya.
Andi
Nurroni pun sepakat dengan ibu Ida. Ia menjelaskan jika media sosial yang
menjamur seperti saat ini dapat menjadi peluang yang baik sebagai media untuk
berkampanye, meminta hak sebagai warga Negara, dan mengumpulkan dana untuk
membantu orang lain yang membutuhkan, seperti kasus koin untuk Prita. Ketika
ditanya mengenai budaya kampanye partai politik dengan menggunakan koran, Andi
menjawab jika itu sudah merupakan budaya, termasuk juga dengan keberpihakan
koran terhadap salah satu partai politik, bergantung dari keuntungan apa yang
akan didapatkan oleh koran tersebut. Baginya, merupakan hal lumrah jika koran
bersifat subjektif mengenai partai politik, tetapi ia juga menyadari bahwa hal
tersebut dapat berdampak sangat besar bagi pembacanya, baik itu ke arah yang
positif jika itu memang berita yang benar-benar terjadi, atau bahkan kea rah
negatif jika berita tersebut hanya difungsikan sebagai pencitraan semata.
Maud
Watine menjelaskan bahwa sebagai jurnalis Prancis, ia juga menggunakan media
sosial, tetapi ia memfungsikannya hanya untuk mencari informasi mengenai berita
dari luar negeri yang biasa ia dapatkan melalui trending topic world wide seperti di twitter. Bila di Perancis,
media cetak jauh lebih dipercaya oleh masyarakat dibandingkan dengan media
sosial, karena berita yang dicantumkan dalam media sosial belum tentu valid,
dan cenderung bersifat subjektif. Para pembacanya sudah dibiasakan untuk
objektif dan kritis dalam menerima berita, mereka cenderung untuk mengkroscek
dan tidak mudah terprovokasi mengenai sesuatu hal hanya dari satu sudut
pandang. Tak hanya itu, media cetak di Perancis sangat menjaga etika
jurnalistik dan sama sekali tidak mau menerima bentuk kerjasama apapun dengan
partai politik di sana, karena media cetak harus bersifat objektif dan netral.
Di
penghujung acara, moderator menarik kesimpulan bahwa apapun yang tercantum
dengan media cetak maupun media sosial, seperti adanya keberpihakan terhadap
salah satu sisi, baik condong pada salah satu partai politik atau kecondongan
pada siapapun, sebagai pembaca kita harus membiasakan diri untuk bersifat
kritis, objektif dan selalu double check
sebelum mempercayai berita yang tercantum dalam media tersebut. [aat]