UTS Dasjur - Feature

TUNA NETRA PENJUAL SAPU KELILING



Langit masih berwarna biru pekat ketika waktu menunjukkan pukul lima pagi. Seorang lelaki bertubuh kurus keluar dari pintu rumahnya dengan perlahan. Pria berlogat khas Jawa itu membalas sapaan tetangga di sebelah rumahnya dengan ramah. Setelah menyapa dan bercengkrama, tangan kanannya mengambil sebuah tongkat yang terbuat dari kayu yang disandarkan di samping pintu rumahnya, ia juga memikul beberapa batang sapu di bahu kirinya.
Beban di pundak kirinya membuat langkah lelaki berusia enam puluh satu tahun itu terasa berat. Dengan bantuan tongkatnya ia menyusuri jalan Raya Bendul Merisi hingga jalan Wonokromo untuk mencari angkutan umum. Lelaki itu meminta bantuan seorang sopir angkutan umum untuk memberitahu jika angkutan umumnya sudah tiba, maklum saja, ia adalah seorang tuna netra.
Lelaki bernama Sunarto atau yang akrab disapa Pak To itu sudah mengalami kebutaan sejak lahir. Ia mengakui jika dengan kondisi penglihatan yang tidak ‘awas’ itu awalnya sangat membatasi ruang geraknya. Terlebih lagi saat ia masih menetap di desa asalnya di Tulungagung. Saat itu keluarganya merasa malu memiliki anak yang buta. Ia dibesarkan oleh keluarganya dan hanya boleh beraktivitas di dalam rumah saja. Ia tidak diperbolehkan untuk menemui orang lain karena lelaki itu dianggap sebagai aib bagi keluarganya.
Merasa frustasi dengan kehidupan yang penuh hinaan dari keluarganya, ia pun memutuskan untuk mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial. Di sana ia mengikuti pelatihan pijat tuna netra. Setelah lulus dari pelatihan tersebut ia pun berharap untuk bisa mendapatkan pekerjaan sebagai seorang tukang pijat. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, ia tidak kunjung mendapatkan pekerjaan tetap.
Rasa kecewa terhadap pemerintah sudahlah pasti. Betapa tidak, dengan mengikuti pelatihan ia berharap mendapat sebuah keahlian dan pekerjaan. Tetapi kenyataannya pemerintah justru menjawab jika pihaknya hanya membantu mengembangkan bakat. Untuk pekerjaan, para tuna netra harus mampu berjuang untuk memperolehnya di luar, tanpa bantuan pemerintah.
Merasa kesal dengan jawaban tersebut dan makin terkucilkan dirinya di keluarga, ia pun memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Di Jakarta ia menjadi seorang tukang pijat keliling. Pada saat itu pelanggan yang paling sering menggunakan jasanya adalah para pekerja seks komersial.
Tak hanya memijat di Jakarta saja, ia pun memijat di berbagai kota, seperti Malang, Surabaya, Kediri, dan beberapa kota lainnya. Hal itu ia lakukan bukan semata-mata untuk mencari uang saja, tetapi juga untuk menambah pengalaman, sekaligus jalan-jalan mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah ia datangi.
Ketika sedang menjajakan jasa pijatnya di Surabaya, tanpa disengaja dirinya bertemu dengan seorang pria bernama Soenandar Prijosoedarmo, Gubernur Jawa Timur yang ke delapan. Pak Nandar pun menghampirinya dan bercengkrama sebentar. Pak Nandar menyarankan agar dirinya berganti profesi, yakni berdagang dan memberinya modal untuk membangun usaha. Dengan modal yang diberikan Pak Nandar ia pun menjual sapu mulai dari tahun 1982 hingga saat ini.
Benar saja, semenjak menjajakan barang, ia memiliki pemasukan yang lebih stabil. Ia menjajakan dagangannya dengan berkeliling dari satu kampung ke kampung lain. Setiap harinya ia membawa sepuluh batang sapu. Lelaki beranak satu itu menjajakan dagangannya di sekitar daerah Gubeng dan Manukan Surabaya. Terkadang ia menjajakan dagangannya dengan naik becak, hanya jika ia memiliki uang lebih. Jika dirata-rata penghasilan yang ia dapatkan setiap harinya adalah sebesar sepuluh ribu rupiah.
Pada masa-masa awal ia merasa sangat kesulitan, terutama untuk menghafalkan jalan yang masih asing baginya. Perlu dua tahun untuk beradaptasi. Tak hanya tersesat, ia pernah juga terperosok ke kali. Kejadian itu tak hanya terjadi sekali. Meskipun begitu ia merasa beruntung karena ada orang yang mau menyelamatkannya saat ia terperosok ke kali. Tak hanya itu, ia juga harus banyak bersabar, karena orang-orang di sekitarnya sering mencibir dan memberikan komentar negatif kepadanya.
Dengan senyum tipis ia bercerita bahwa setelah enam belas tahun berdagang sapu di Surabaya, akhirnya ia bertemu dengan wanita yang kini menjadi istrinya. Wanita itu bernama Sukati. Kehadiran wanita yang kini berprofesi sebagai pegawai katering itu telah menjadi tambahan semangat baru baginya. Karena baginya mencari nafkah adalah untuk mencukupi kebutuhan hidup anak dan istri. Ia pun tertawa dan berkata jika seandainya ia tidak bertemu dengan pujaan hatinya itu, mungkin saat ini ia malah tidak bekerja dan tidak menjadi apa-apa. Bersama dengan istrinya ia berkomitmen untuk terus bekerja demi menghidupi anak mereka.
Dengan bangga pak To menceritakan jika dari hasil kerja keras mereka berdua kini mereka memiliki rumah, kendaraan, dan dapat menikahkan anak semata wayangnya dengan acara pernikahan yang digelar sesuai dengan apa yang diinginkan putrinya itu. Baginya hidup dengan kekurangan bukanlah sebuah kekurangan, tetapi itu adalah kesempatan untuk lebih mengembangkan diri dan tidak menyerah dengan keadaan.
Dengan tangan gemetar dan suara yang tegas ia berharap agar pemerintah dapat lebih peduli terhadap rakyat kecil seperti dirinya dan teman-temannya. Lelaki itu tidak berharap kekecewaan yang ia peroleh beberapa puluh tahun lalu kembali terulang untuk generasi selanjutnya. Setiap hari ia selalu berdoa agar kelak pemerintah lebih peduli dan berjiwa sosial, berjuang untuk kepentingan rakyat kecil, bukan untuk mewujudkan kepentingan pribadinya saja.

OLEH:
NAMA         : ATIKAH AYU TAQIYYAH
NIM             : 071411531004
JURUSAN   : ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS AIRLqANGGA

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

hello

Surabaya, 8 April 2015

Untuk semua pelajar SMA kelas XII, sukses ya UNASnya, lancar terus semuanya, tercapai semua yang diinginkan, terus semangat, terus berusaha!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments