Cerpen Buatanku


Hei readers! Aku dapat tugas nih, membuat cerpen! Temanya mengenai cinta tanah air :D
Yap! selamat membacaa :)


Caraku Mencintaimu, Tanah Airku
Oleh: Atikah Ayu Taqiyyah
Kelas: XI-IPA5 / 04

Waktu telah menunjukkan pukul 01.00, namun mataku masih enggan untuk terpejam. Rasanya masih ada yang sangat mengganjal dihatiku. Ya, baru saja aku membaca sebuah majalah yang di dalamnya terdapat kolom kecil berisi komentar orang Eropa mengenai Indonesia dan budayanya. Indonesia itu punya kebudayaan yang besar dan hebat, namun sayangnya kebudayaan sesungguhnya telah hancur oleh gaya hidup mereka sendiri. Miris hatiku membaca komentar Londo itu! Ia berkata seolah kami orang-orang Indonesia tak lagi mampu mempertahankan dan justru bersikap tak peduli pada budaya kami sendiri. Tidak terima, tapi memang komentar itu ada benarnya.
Ya, kini kami memasuki era globalisasi. Perkembangan dari segala sektor makin tak terkendali, degradasi moral makin marak terjadi, dan akulturasi budaya juga tak dapat dhindari. Perlahan namun pasti, budaya negeriku akan mati. Muda-mudi lebih suka bergaya seperti orang luar negeri dan mulai meninggalkan budaya sendiri.
Aku tidak memahami jalan pikiran mayoritas  generasi muda saat ini. Nenek moyang telah memberikan titipan berupa seni budaya yang beraneka ragam dan sangat indah, namun mereka justru tak tertarik untuk melestarikannya. Tarian, nyanyian, alat musik, bahkan permainan-permainan daerah, kini perlahan menghilang. Hal-hal tersebut mulai tergantikan dengan hal baru yang mereka adopsi dari luar negeri.
Perkenalkan, namaku Ratih, aku asli Mertoyudan Jawa Tengah. Ya, aku adalah salah satu dari mereka. Aku adalah generasi muda penerus bangsa, sama seperti mereka. Tapi aku sedikit berbeda dari mereka. Aku sangat mencintai kebudayaan dari tanah airku, Indonesia. Aku sangat menyukai tarian. Ibuku dulunya adalah seorang penari. Sedikit banyak aku belajar menari dari beliau. Sepuluh tahun yang lalu, aku mulai belajar menari. Bagiku, sepuluh tahun adalah waktu yang singkat. Aku baru mengenal beberapa puluh macam tarian dan aku masih ingin mendalami semua tarian di Indonesia, semuanya.
Semakin hari, rasa keingin tahuanku  mengenai tarian semakin besar dan aku merasa pengetahuanku takkan bertambah jika aku hanya belajar menari di desaku. Terbesit keinginan untuk pindah ke Jogja dan belajar lebih banyak tarian lagi disana. “Mbok, Ratih kepingin belajar menari, di Jogja mbok. Apa boleh?” kataku pada si Mbok. “Ora oleh. Mbok ndak setuju! Jangan jadikan tari sebagai profesi nduk, ndak menjanjikan. Kamu lihat Mbokmu ini! Mbok dulu penari, tapi apa, sampai sekarang yo ndak sugih-sugih, mau makan saja susah. Kamu kuliah saja, belajar yang serius supaya bisa jadi mantri. Mbok kepingin kamu jadi mantri, bisa membantu orang, dapat uang banyak.” Jawab si Mbok. “Tapi Ratih janji mbok, Ratih pasti sukses. Ratih serius mbok, Ratih pasti bisa berkeliling dunia dari menari. Ratih ingin mengenalkan budaya Indonesia pada orang-orang di luar sana agar mereka tidak menyepelekan Indonesia mbok. Ayo mbok, boleh ya? Ratih ndak bakal ngerepoti si Mbok kok. Ratih akan membuat si Mbok bangga. Boleh ya?” rayuku. Dengan sedikit terpaksa, akhirnya si Mbok pun mengizinkan aku untuk ke Jogja. Dengan hanya berbekal Rp 150.000,- aku berangkat kesana.
Disinilah aku tinggal, di Sanggar Pamulangan Tari Mekar Asri milik bu Retno. Bu Retno mengizinkan aku tinggal disini untuk waktu yang tidak ditentukan, asalkan aku serius, berlatih dengan tekun, dan mau membantunya membersihkan sanggarnya setiap pagi dan sore. Disinilah aku belajar menari, bersama sebelas murid bu Retno yang lain.
Suatu sore disaat sedang latihan menari, bu Retno mengabarkan, “Cah ayu, 20 Oktober nanti akan diselenggarakan lomba tari se-kecamatan, tariannya bebas.  Tiap sanggar tari hanya boleh menunjuk seorang perwakilan saja. Sekarang, ibu akan memilih salah satu dari kalian, yang latihannya paling giat, paling tekun, dan paling berpotensi.” Bu Retno terdiam sesaat, membuat semua muridnya menjadi semakin penasaran. “Nduk, kamu yang ibu tunjuk untuk mewakili sanggar ini ya.” Ujar bu Retno, sambil menoleh ke arahku. Aku mengangguk dengan tersipu-sipu malu. Senang sekali aku bisa mewakili sanggar ini. Terima kasih Tuhan, aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Waktu perlombaan tinggal tiga hari lagi. Aku berlatih dengan sungguh-sungguh setiap harinya. Bagiku, ini adalah kesempatan emas. Karena jika aku menang di perlombaan ini, aku bisa mengikuti perlombaan di tingkat kelurahan, jika menang lagi, aku maju ke tingkat kota, lalu aku bisa maju ke perlombaan tari nasional. Kemungkinan aku bisa lolos memang sangat kecil, tapi aku tidak akan menyerah. Semoga saja aku bisa berhasil meraih impianku, menunjukkan pada dunia betapa indahnya tarian Indonesia, sekaligus membuktikan bahwa masih ada generasi muda Indonesia yang peduli dan bersedia untuk melestarikan budaya negerinya.
Hari perlombaan pun tiba. Bu Retno membangunkanku pagi-pagi sekali. Ia memintaku untuk segera mandi dan bersiap. Bu Retno menawarkan diri untuk merias wajahku, sungguh sebuah kehormatan bagiku. Bu Retno sangat teliti dan telaten saat merias wajahku. Memang membutuhkan waktu yang cukup lama, tapi hasilnya, aku benar-benar terlihat cantik! “Cah ayuu, ayu tenanan. Wis kaya Srikandi.” Ujarnya seraya merayuku. Aku tersipu malu. Wajahku telah selesai dirias, kini saatnya berangkat ke perlombaan. Aku melihat penampilan peserta lain, penampilan mereka sungguh indah. Aku merasa gugup dan kurang percaya diri, tapi kemudia bu Retno berkata padaku, “Ratih, kamu bisa, sudah to ndak usah gugup, kamu punya talenta nduk, percayalah.”
Tibalah giliranku tampil. Dengan sedikit ragu, aku naik ke atas panggung. Aku memutuskan untuk menampilkan tari Merak, tapi hanya seorang diri. Aku menampilkannya dengan sepenuh hati, entah itu bagus atau tidak, terserah apa kata nanti. Yang jelas aku merasa sangat bangga bisa tampil di panggung ini.  Tiba saatnya pengumuman hasil lomba, dan ternyata aku menjadi juara pertama! Aku berhak lolos ke tahapan berikutnya. Alhamdulillaah, terima kasih ya Allaah.
Waktu terus berlalu, berbagai tahapan perlombaan kuikuti. Kini aku merasa semakin matang dan emosiku juga sudah mulai bisa kukendalikan. Bu Retno dengan senang hati membantuku mempersiapkan semuanya. Tibalah aku disini, di perlombaan tari Nasional! Bukan main rasanya! Aku sangat bahagia bisa maju sampai pada titik ini. Butuh waktu dua puluh delapan bulan lamanya hingga aku bisa berada disini, mengikuti berbagai perlombaan yang benar-benar menguras energi. Tak disangka-sangka, ternyata si Mbok hadir ke acara ini. Si Mbok ingin menyaksikan pnampilanku! “Nduk, si Mbok percaya sama kamu. Semangat ya nduk.” Senang sekali rasanya.
Dengan mengucapkan Bismillaahirrahmaanirrahiim, aku tampil ke atas panggung. Beberapa tarian kusuguhkan, mulai dari tarian Jawa Tengah, Jawa Timur, dan beberapa daerah yang lain. Juri-juri berdecak kagum bahkan ada yang bertepuk tangan sambil berdiri setelah melihat penampilanku. Aku bangga, tapi aku juga tidak ingin terlalu yakin. Aku takut nanti ketika aku terlalu yakin menang, tapi kenyataannya tidak menang, nanti rasanya menyaakitkan. Aku pasrah pada-Mu ya Allaah, berikanlah yang terbaik, Amiin.
Juri mengumumkan hasilnya. Sungguh tak disangka-sangka ternyata aku terpilih menjadi juara umum! Subhanallaah! Aku mendapatkan kesempatan menari di luar negeri! “Mbok! Aku akan tampil menari di luar negeri! Aku bisa berkeliling dunia dengan menari!” ujarku pada si Mbok. Si Mbok menangis haru, bu Retno pun terharu. Kami saling berpelukan. Tiga bulan setelah perlombaan tingkat nasional, akhirnya aku diterbangkan ke Amerika oleh kedutaan besar Indonesia. Setelah dari Amerika, aku diminta untuk tampil di beberapa negara di Eropa dan beberapa negara di Asia.
Indonesia, akhirnya aku dapat mengenalkanmu pada dunia melalui seni budaya. Membuktikan pada dunia bahwa masih ada generasi muda penerus bangsa yang peduli dan bersedia melestarikan budaya. Mencintai Indonesia dan tari dengan sepenuh hati, hingga ajal menghampiri. Ya, beginilah caraku mencintaimu, tanah airku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

0 Comments:

Posting Komentar