Pernah sedih pada masanya
Surabaya, 16 Januari
2019
Resolusi tahun ini, ingin sekali
mengawali dengan menghapus memori lama. Ada banyak foto, video, yang memenuhi
laptopku. Aku menemukan tulisan super lama, yang sedih pada masanya.
Latar cerita:
Surabaya, 13 Juni 2016
Surabaya, 13 Juni 2016
Hari pertama
bulan puasa. Pukul
10.00 aku ada kelas penulisan kreatif. Sebelum itu aku harus mengunjungi rumah
dia (yang istimewa pada masanya). Memperjelas kemana arah hubungan kami. Ya,
sudah sejak April kami menjalani hubungan yang kurang nyaman.
Pukul 09.00 aku
tiba di rumahnya. Dia mempersilahkanku menuju rumah tamu. Dia bercerita tentang
kawan-kawannya. Aku mendengarkan, cukup lama. Lalu melihat jam, 09.45 ‘bisa kita langsung ke intinya?’ Dia memutuskan
hubungan. Cukup banyak yang dia katakan, alasan kenapa harus memilih ini, harapan
apa untuk kami ke depannya, dia menghitung jumlah hari yang sudah kita jalani, juga banyak hal lain. Tapi semua di kepalaku terasa
berputar-putar. Aku hanya fokus pada matanya. Setelah dia berhenti, kubilang ‘oke’ Kami bersalaman. Dia berkata, “hati-hati
di jalan ya.” Aku pergi.
Kelas penulisan
kreatif. Ini mata kuliah favoritku di semester itu. Aku menjalani kelas dengan
kondisi abnormal. Hidung memerah, pandangan mata kabur oleh banyak bulir air. "Kenapa?" Aku hanya memeluk Dian, dan
menangis dengan sisa air mata seadanya. Tugas hari itu adalah menuliskan puisi,
sajak, atau apapun tanpa menggunakan huruf ‘i’. Sebab aku yang sedang bisu
waktu itu, mereka (rekan kelompokku) memberi aku banyak ruang untuk menceritakan
kejadian dengan tulisan. Beginilah jadinya, hasil akhir dengan revisi diksi
dari mereka.
Aku menggumam pada malam yang tak
jua berpulang
Ragaku lelah, rasaku hampa
Anganku terbang ke jurang luka,
terlalu kuyu untuk terbangun.
Sesak duka merasuk sukma
Kosong. Hanya aku dan debu sekarang
Beku membayangkan masa lalu
Melebur dengan kenangan dan asa
“Apa salahku?”
“Mengapa ragaku tergerus duka?”
Akankah kutemukan satu yang layak kusebut dalam doa,
tak jeda kurapalkan saat surya,
juga petang menjelang
Akankah semesta mengungkap semua
pertanda,
kemana kamu dan aku bermuara
Dian, Dwinita, Atikah, Angeline
13 Juni 2016
Tulisan tersakit pada masanya. Kalau dibaca sekarang, “bung,
kau lucu juga melasnya.”
Tidak hanya menulis, mereka memberi kesempatan untuk aku
membaca di depan kelas. Begitu baiknya. Di depan kelas aku membaca, seisi kelas
diam, terbawa. Aku berderai-derai air mata. Terima kasih mbak Kandi (dosenku dengan kemampuan menulis yang maha syahdu)
dan tim lama. Mereka mengajarkan melepas beban dengan karya.
0 Comments:
Posting Komentar