surat pertamaku
Surabaya, 5 Mei 2020
Bapak,
Ini hari ke sepuluh setelah aku
menerima gaji ke sepuluh. Harimu baik? Jadi penopang, ternyata nggak pernah
segampang yang aku bayangkan. Sejak awal, sampai sekarang. Mereduksi apa yang
aku inginkan, untuk kepentingan beberapa orang lain, yang harus diutamakan,
ternyata nggak pernah terasa ringan. Selain aku yang selalu coba ingat, aku juga mau liat fira seneng, bisa beli apa
yang dia mau. Lalu aku tiba-tiba aja melupakan mimpi beli sepatu shoekashoes untuk selebrasi gaji pertamaku.
Tentang gaji pertama, aku masih
merasa terkesima sekali. Waktu aku cek rekening, dan ada uang dua juta rupiah, uang setengah bulan yang aku
peroleh dari kerja-belajar pagi sampai jam 4 sore hari disini. Aku kasih itu ke
ibu, mbah, fira, dan sedekah. Bapak tahu, jumlahnya nggak banyak memang, tapi aku
nggak pernah merasa sejantan ini. Aku merasa jantan karena waktu anak-anak
seumuranku dapat gaji dan dipakai untuk beli segala keperluan dan keinginan pribadi,
sementara aku nggak sepenuhnya cuma untuk aku. Aku memulai hidup untuk orang lain. Serius, aku nggak pernah
ngerasa segagah ini. Terasa seperti aku
siap bertarung dengan seisi bumi. Jantan sekali.
Bapak, sepertinya tahun ini aku
nggak beli baju baru untuk lebaran. Jangan merasa terbebani karena kamu teralu
cepat pergi. Dan aku masih anakmu, yang nggak pernah nggak mau untuk beli ini
itu. Tapi waktu menawarkan beberapa pilihan ke fira, dia bilang, tahun ini nggak beli baju baru nggak papa. Baju
kita udah banyak. Selegowo itu kami belajar, pak. But once, kalau kamu tiba-tiba hidup lagi, dan lagi-lagi bertanya, mau beli apa? Tenang, ada ribuan list barang di kepala, yang bisa keluar
dari mulutku begitu saja. I guarantee,
aku masih tetap anakmu yang selalu tahu apa yang aku mau. Kamu pasti senyum
sambil angguk-angguk kepala. Rindu rengekanku kalau aku mau sesuatu kan? Aku bisa
merasakan itu. Bisa mewujudkan sesuatu yang diinginkan significant others mu, ternyata memang segagah itu.
Bapakku yang hatinya selembut
tisu. Aku juga tahu, kalau kamu baca tulisanku ini, kamu pasti nangis. Merasa
bersalah sekali karena terlalu cepat pergi, waktu kami belum benar-benar bisa
berdiri sendiri. Aku juga tahu, kalau kamu masih dan akan terus selalu merasa
kalau kamu akan selalu bisa diandalkan. Dan kamu sedih sekali, karena ternyata,
hidup nggak selalu tentang semua yang kita rencanakan. Tapi setidaknya, kita
belajar, kan?
Tau nggak? Seenggaknya, di tempatmu
ada nisan. Yang setiap kali aku merasa jalanku terlalu berat, aku bisa datang
kesana. Dan lagi-lagi, bahkan ketika kamu sudah pergi, aku masih tetap jadi aku
yang butuh bersandar setiap merasa keberatan perihal kehidupan. Maaf ya kalau
tiap aku kesana, cuma bawa doa seadanya, dan pasti minta barter doa untuk masalah-masalahku supaya ngga berat-berat amat
kelarnya. Aku sengaja gitu, supaya kamu selalu tahu, kalau aku, bocah lugu,
yang masih dan akan terus bergantung sama kamu. Shall I say ‘I love you’? I love you, dan akan selalu seterusnya
begitu.
Dari penulis favoritmu,
Atikah Ayu.
0 Comments:
Posting Komentar